-tiga puluh dua

31 8 1
                                    

Waktu bergulir, tak terasa saat ini mereka dipertemukan diacara wisuda-- Langit, Mondy, Genta, dan Jihan.

Tidak ada yang lebih mengejutkan dari seorang Genta yang lulus dengan predikat cum laude. Dibalik sosoknya yang sembarangan dan sering bercanda, seorang Genta ternyata adalah sosok yang pintar, nilai akhirnya hampir sempurna.

"Gen... Serius nih cum laude?" Goda Langit pada Genta sambil merapikan toganya.

Mondy ikut mencibir, "perawakan lo sama sekali gak memperlihatkan kalo lo sebenernya mahasiswa cum laude."

Genta terbahak, "kalian kan tau nya gue kuliah cuma buat bercanda doang."

"YA EMANG!" Celetuk Jihan kemudian membuat keempatnya tertawa bersamaan.

"Gila ya kalo udah wisuda gini jadi udah gak bisa denial kalo kita beneran udah tua" ucap Langit kemudian tersenyum.

Jihan menyenggol tubuh sahabatnya sampai terhuyung, "heleh, santai kenapa sih!? Abis wisuda kita masih tetep bisa have fun kok"

"Edan ini gue gak bisa ngapelin Langit lagi dong tiap hari?" Kata Genta seperti frustasi karena kehilangan rutinitasnya.

"Bisa kok, kerumah aja langsung." Jawab Langit sambil menarik senyum dan menaik-turunkan alisnya.

Mondy berdeham, "GAK BISA!" Teriak laki-laki itu berusaha mencegah, "kalo urusan ngapelin Langit kerumahnya, itu udah jadi tugas gue."

Langit memutar bola matanya malas, "STOP! Besok gue pindah rumah."

Keempatnya kembali tertawa. Tak terasa, predikat mereka sebagai seorang mahasiswa saat ini telah dituntaskan-- mereka lulus.

Jika meneliksik kembali tiap detik yang sudah dilewati, dalam kurun waktu kurang lebih empat tahun-- semuanya terasa indah dan berharga.

Dimulai sejak MABA, sampai menjadi sarjana. Diawali semester muda, sampai menginjak semester tua. Dimulai tanpa beban, dan diakhiri dengan perasaan lega.

Semua terangkum manis dalam sebuah bingkai yang akan diberi nama, kenangan.

Menjalani hari-hari sebagai seorang mahasiswa, berhaha-hihi ria disepanjang selasar fakultas, menunggu waktu kelas selanjutnya tiba.

Ruang kelas dingin yang dipenuhi manusia-manusia pemikir, entah memikirkan masa depan atau hanya sekedar memikirkan kapan kelas akan cepat berakhir.

Semuanya indah.

Banyak juga perasaan yang hadir disana-- baik itu senang, sedih, marah, kecewa, khawatir, bahkan hampir menyerah dibuatnya. Dunia perkuliahan memang terkesan individual, namun menyimpan sejuta sensasi menyenangkan dan juga dihadapi oleh sejuta tantangan.

Tak terasa, semuanya akan berakhir.

Dalam pengalaman seorang Langit, kuliah adalah hal yang menyenangkan untuknya--pada saat-saat terakhir seperti ini tentunya. Bukan pada saat ia masih menjadi mahasiswa. Langit bukan mahasiswa yang rajin dan baik--ia lebih sering mengeluh.

Tak ada lagi rutinitas bangun dipagi buta, buru-buru berangkat tanpa sempat sarapan demi menuntaskan tugasnya. Tak ada lagi teriakan pagi hari yang menyuruh Rega untuk segera bergegas karena mereka hampir terlambat. Tak ada lagi ruang kelasnya, tak ada lagi selasar, tak ada lagi taman fakultas, tak ada lagi Genta, Mondy, dan Jihan yang setia menemani hidupnya selama menjadi mahasiswa-- dan yang terakhir, tak ada lagi Jagad yang setia menghampiri dirinya difakultasnya, memang sudah tak ada--dan tak akan pernah lagi ada.

Langit tak ingin menangis sekarang, ini hari bahagianya, kesuksesan semakin dekat dan akan menjemputnya didepan.

Bohong jika Langit tidak mengharapkan kehadiran Jagad saat ini, ia ingin sekali. Waktu yang ia habiskan hampir 1,5 tahun bahkan tidak cukup untuk menghapus Jagad dan kenangannya dalam diri Langit.

APFOKUS || MARK LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang