-tiga puluh

34 11 2
                                    




Genta berjalan melewati koridor demi koridor kampusnya, ia membawa sepucuk surat digenggaman. Surat yang Jagad sempat tulis beberapa waktu silam, dan laki-laki itu menyuruh Genta untuk menyampaikan kepada sang penerima.

Genta mengedarkan seluruh pandangannya, berharap menemukan gadis itu.

Tak lama, mata Genta menangkap sosok yang sedari tadi ia cari. Gadis itu sedang sibuk berbincang dengan dua kerabatnya ditaman fakultas.

Dengan derap langkah yang getap, Genta berjalan menghampirinya, "Langit!" Panggilnya.

Langit dan kedua temannya menoleh, "Loh Gen, tumben" ujar Langit yang heran karena tidak biasanya laki-laki itu berada difakultasnya kalau tidak bersama Jagad.

Genta berdiri dan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, "Hmm... Ini" Genta terbata, namun tangan nya terulur kemudian menyerahkan surat yang sedari tadi ia genggam. "Dari Jagad"

"Tumben dia ngasih surat? Gue bukanya nanti aja ya dirumah."

"Eh jangan!" Cegah Genta cepat, "lebih baik lo buka sekarang"

Langit mengerenyit sambil menatap Genta dan surat tersebut secara bergantian. Jemarinya dengan lincah membuka amplop dan mengeluarkan kertas dari dalamnya.

Langit membacanya...

Bulir air mata jatuh perlahan dari pelupuk matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Bulir air mata jatuh perlahan dari pelupuk matanya. Surat yang baru saja selesai ia baca lolos begitu saja dari genggamannya. Kemudian, gadis itu menatap Jihan, Mondy, dan Genta secara bergantian—menunduk dan mulai menangis, pundaknya naik turun tak beraturan, tangannya bergetar.

Dengan cepat, Jihan memeluk tubuh Langit dari samping. Berusaha menguatkan dan mengelus lengan sahabatnya.

Mondy memungut surat yang jatuh tersebut kemudian membacanya dengan Genta. Mereka berdua nampak tidak menyangka. Setelahnya, Mondy menyerahkan surat itu kepada Jihan untuk dibacanya.

Langit semakin menangis, tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun disana. Seperti sengaja membiarkan Langit mengeluarkan segala bebannya.

Genta berjongkok didepan Langit, "Lang, sebetulnya gue dilarang buat ngasih tau ini ke lo. Tapi, gue gak bisa ngebiarin lo kayak gini." Genta menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan bicaranya, "Jagad flight 30 menit lagi. Itu tandanya, lo masih punya waktu 30 menit buat mengonfirmasi surat ini."

Langit mendongakkan kepalanya begitu ia mendengar ucapan Genta.

Dengan gegabah, Langit berlari— sejujurnya gadis itu tidak tau harus apa, ia hanya mengikuti egonya dengan berlari sekuat tenaga.

"Lo bawa motor?" tanya Mondy pada Genta.

Genta mengangguk, "biar gue yang anter Langit. Gue pinjem motor lo. Lo bawa mobil gue sama Jihan. Nanti kita ketemuan dibandara." ucap Mondy tergesa sambil menyerahkan kunci mobilnya, "tapi lo bisa nyetir kan?" Tanya Mondy namun kali ini dengan tatapan cemas.

APFOKUS || MARK LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang