"Kalau kau terus-menerus mengeluh sakit," kini suara Adalbaro terdengar, "kapan kau akan meninggalkan kursi rodamu?!"
Emma dan Nazreen tersentak. Seakan tersadar dari lamunan, mereka akhirnya teringat jika Emilia menderita patah tulang di kaki, lengan kiri bawah, dan lengan kanan atas sampai pundaknya. Emilia bahkan tidak bisa menggunakan tongkatnya dengan benar.
"Setiap kali menjalani terapi, selalu saja merintih dan berteriak!" Adalbaro mengomel panjang lebar pada Emilia, "Kalau ada orang yang melewati ruanganku dan mendengarnya, mereka bisa berpikiran yang tidak-tidak!"
"Profesor, sesungguhnya kami sudah berpikiran demikian," Emma menyela dari luar, membuat Nazreen terkejut.
Pintu terbuka, Adalbaro sepertinya menatap tidak suka pada Emma.
"Miss Fillion yang Abu-Abu," kata Adalbaro, "menguping adalah tindakan yang tidak terpuji."
"Kami hanya ingin melaporkan hal yang tidak beres," Emma berusaha menjelaskan situasinya. "Kebetulan ada Madam Gagarina, jadi, beliau bisa memperkuat kesaksian saya."
"Alasanmu tidak membenarkan perbuatanmu, Miss," ujar Adalbaro dengan dingin. "Masuklah, dan jelaskan dengan lebih rinci. Gagarina sudah menjelaskan garis besarnya sambil menjalani terapi tadi."
Emma dan Nazreen tidak mengatakan apa pun ketika melihat tubuh Martina terbaring di sofa yang dekat dengan perapian. Tentu saja, Nazreen mengetahui banyak hal dari Edgar.
Sementara Emma dan Nazreen mulai mengatakan apa yang mereka lihat, Emilia belajar menapakkan kakinya di lantai.
"Tentu saja, saya tidak akan melaporkan makhluk-makhluk ini jika mereka tidak mengganggu," ungkap Emma akhirnya, "seperti gadis cantik yang selalu mengikuti Martina dan gadis cantik yang selalu mengikuti Madam Gagarina. Mereka entitas baik, tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan cenderung menjadi penjaga untuk orang yang mereka ikuti."
"Ya, aku memanggil apa yang mengikutiku dengan sebutan "Kakak Perempuan", agar lebih sopan," Emilia menerangkan sambil tersenyum.
"Profesor, apa yang terjadi pada Martina?" tanya Emma sambil menatap Martina yang terbaring tanpa bergerak sedikit pun.
"Mungkin dia kelelahan dan lapar," jawab Adalbaro, "sebab dia berburu bahan jimat sejak selesai sarapan, baru kembali saat jam makan malam hampir usai, dan sama sekali tidak membawa bekal untuk makan siang."
"Dia begitu cantik, seperti seorang putri yang tertidur seribu tahun," puji Emma.
"Dia bersemayam," kata Emilia, "dalam pikiran orang-orang yang menyayanginya."
"Atas ketidaksopanan kalian, kalian harus menjadi asisten pribadi untuk Madam Emilia Gagarina selama tiga hari mulai besok," celetuk Adalbaro, memberitahukan pada Emma dan Nazreen bahwa mereka tidak bisa lepas dari hukuman begitu saja.
"Tidak berniat memindahkan Martina ke kasur?" celoteh Nazreen, menjadi satu-satunya orang yang terlihat waras.
***
Ignacio dan Viola berkuda kembali ke Sihira pada pagi hari setelah menikmati sarapan di Loka Domo. Meski ia membawa sebotol obat agar Lorinda segera sembuh, tetap saja, pikirannya kalut karena ternyata ayahnya bekerja di bawah kepemimpinan Blueberry Darkage.
Viola memacu kudanya lebih cepat, membuat Ignacio kewalahan mengejarnya.
***
Martina terbangun, dan hal pertama yang ia lihat ketika membuka matanya adalah sepasang mata hitam legam, rambut pirang terang, dan hidung bak paruh elang. Adalbaro Coldman.
"Selamat pagi, Miss Riario," sambut Adalbaro, "jangan bergerak tiba-tiba agar kepalamu tidak sakit."
Martina menurut. Bergeming. Bahkan bibirnya tetap mengatup rapat.
"Tidak perlu ke mana-mana, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," ucap Adalbaro. "Semua yang ada di troli ini adalah milikmu, kecuali roti prata dan kari kambing. Kau alergi kelapa, 'kan? Semoga aku tidak lupa."
Martina hanya tersenyum. Kepalanya masih cenat-cenut, terutama pada bagian keningnya. Ia menatap langit-langit, dan menyadari bahwa ia tidak berada di kamarnya sendiri.
"Profesor," Martina beralih posisi dari tidur menjadi duduk, "apa yang terjadi?"
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa terkapar begitu saja di gerbang sekolah? Tidak sadarkan diri. Pingsan yang kemudian dilanjutkan dengan tidur, kurasa. Kenapa hal itu sampai terjadi?"
"Setelah dari hutan biru, saya menuju hutan dekat rawa untuk menemui Safeya," ungkap Martina.
"Safeya menderita TBC, Martina," geram Adalbaro.
"Saya tahu, tetapi dialah orang yang saya sayangi, sehingga, saya membutuhkan rambutnya untuk jimat saya nanti," Martina berkeras.
"Lanjutkan."
"Begitu saya keluar dari hutan itu, sebuah cahaya ungu menabrak kepala saya hingga saya terjatuh dari kuda. Cahaya itu panjang, memasuki kening saya, dan saya hanya bisa terbaring mungkin sekitar lima menit. Setelah itu, sepanjang perjalanan kembali ke sini, saya merasa kepala dan badan saya semakin lama semakin berat. Hal terakhir yang saya ingat adalah saya sampai di gerbang. Sudah."
"Cahaya ungu? Berasap?" Adalbaro seakan memastikan, sedangkan tangannya tidak berhenti bergerak menyiapkan meja kecil untuk digunakan oleh Martina di atas kasur.
"Saya rasa, ya, berasap," Martina mengangguk. Meja kecil dan piring-piring berisi makanan mulai ditata di hadapannya.
"Sarapanlah dengan tenang," Adalbaro memberikan segelas susu murni tawar, "minum ini dulu."
***
Viola dan Ignacio berpapasan dengan Yewberry ketika hendak menuju kamar Lorinda. Gadis berambut hitam dan bermata kiri hijau gelap itu berdecih ketika pria itu menghentikannya untuk sekedar basa-basi.
"Saya harus segera pergi, Pak," sembur Viola dengan kasar. "Jangan menanyai saya akan hal-hal yang tidak penting!" Viola melenggang begitu saja, dengan Ignacio di belakangnya.
"Andai saja ayah kita bisa bertindak lebih jauh," keluh Ignacio.
Sesampainya di kamar Lorinda, mereka melihat Siobhan ada di sana, menemani Lorinda sambil berkutat dengan tumpukan buku-buku dengan ketebalan bervariasi.
"Jika orang-orang mengira aku tidak memiliki andil apa pun selama Lorinda terbaring lemah di pembaringannya," celetuk Siobhan, "inilah aku, berkutat dengan segala jenis literatur untuk mengerjakan tugas-tugasnya setelah tugasku sendiri selesai."
"Oke. Ngomong-ngomong, aku membawakan obat untuk Lorinda."
***
Setelah sarapan bersama Martina, Adalbaro pergi ke rubanah untuk membebaskan Jørgen dan Michelle. Kemudian, pergi ruangan Satya untuk membicarakan segala persoalan yang semakin rumit.
***
Jørgen tidak ingat untuk menggandeng Michelle berjalan kembali menuju kebebasan, melainkan berlari tergesa-gesa menuju asrama Abu-Abu.
"Sial!" umpatnya sambil menapaki anak tangga untuk keluar dari rubanah, "Andai saja aku tidak kepergok sedang bercinta dengan Michelle, pasti aku tidak perlu menghabiskan hari-hariku di penjara busuk itu, dan mengetahui keadaan Lorinda secara langsung, alih-alih hanya dari mulut Jimmy ketika bocah itu mengantarkan makananku."
Jørgen terus mengoceh pada dirinya sendiri sampai di depan pintu asrama Abu-Abu.
"Kau anak asrama mana?" cegat Laras begitu Jørgen ingin masuk.
"Asrama Putih, tapi sahabatku sedang sakit di dalam sana," jawab Jørgen.
"Pass-card," Laras menodongkan tangannya.
"Pass-card apa?" Jørgen terheran-heran.
"Minta dulu pada Profesor Coldman sebelum menjenguk Lorinda," Laras menerangkan, "kalau tidak punya, tidak bisa masuk."
"Apakah Siobhan dan Carlotta juga memiliki pass-card?"
"Tentu saja."
"Damn!"
-Ema Puspita Loka-
Halo, halo, halo... bagaimana kabar pembaca? Masih bertahan dengan Sihira? Jika iya, terima kasih banyak...
Terus vote dan komen untuk mendukung Author ya... ^0^
KAMU SEDANG MEMBACA
SIHIRA
FantasyApa yang akan terjadi ketika seorang gadis yang biasanya hidup normal tiba-tiba harus berkecimpung dengan dunia sihir, apalagi menjadi korban? Lorinda Castillian menjadi siswi Sihira di kerajaan sihir Taika, dan akan mengalami banyak hal di luar ken...