Di balik semak-semak berukuran besar, tersembunyilah kerajaan elf telunjuk. Bangsa elf telunjuk begitu terkejut melihat dua sosok manusia memasuki pemukiman mereka.
"Manusia!" jerit para elf.
"Di mana keluarga raja kalian yang baru itu?!" suara Indamira menggelegar, membuat para elf telunjuk itu gentar. "Katakan padaku!"
"Di pohon itu," dari pundak Indamira, Twinkle menunjuk sebuah pohon yang paling besar.
"Yang bagaimana ciri-ciri mereka?" tanya Martina.
"Mereka memiliki sayap berwarna biru," jawab Twinkle.
"Setidaknya, aku tidak akan terlalu kejam hanya demi sebuah ramuan," Indamira menyeringai sambil berlari menuju pohon yang merupakan istana elf tersebut.
Dalam hentakan kuat, Indamira menebas dahan-dahan pohon itu dengan pedangnya, mambuat rakyat elf telunjuk ketakutan.
"Ada apa in—"
"Bangsat kau!" umpat Indamira pada elf telunjuk bersayap biru yang memakai makhota dari emas. Indamira langsung menampar raja elf itu dengan tangan kosong hingga terpental ke tumpukan dahan pohon di tanah.
Martina yang menyaksikan pembantaian dinasti kerajaan elf telunjuk yang baru oleh Indamira itu hanya berdiri agak jauh -berusaha mengamankan rakyat elf telunjuk agar tidak turut menjadi korban dalam kebengisan Indamira.
Twinkle terbang dari pundak Indamira menuju pundak Martina dengan raut wajah ketakutan. Indamira mulai menghempaskan seluruh elf sayap biru ke tanah dengan kasar, hingga beberapa mengalami kematian karena kepala mereka pecah.
"Temanmu itu bengis sekali, ya?" kata Twinkle di telinga Martina.
"Sudah terkenal seperti itu," jawab Martina, "karena dia adalah calon sipir Teronko."
"Pantas saja," Twinkle bergidik.
Setelah pembantaian usai, Indamira memungut mayat-mayat elf telunjuk itu, mengambil mahkota sang raja dan memakaikannya pada Twinkle.
"Terima kasih atas bantuanmu, Twinkle," ucap Martina.
"Aku yang berterima kasih, karena mengembalikan hakku kepadaku," Twinkle tersenyum.
Indamira dan Martina segera berkuda meninggalkan Violet Valley.
***
Jimmy merasa hampir mati karena badai menerjang perahu mereka.
"Kau yakin perahu ini kuat?!" tanyanya pada Ignacio di tengah gemuruh.
"Aku tidak tahu!" jawab Ignacio, "Kita sama-sama menemukannya di bibir pantai!"
"Apa yang akan kalian katakan pada ibuku jika aku mati di sini?!" Jimmy merengek, hendak menangis.
Mereka berpegang kuat pada perahu sampai badai benar-benar reda, menyisakan keheningan di tengah lautan yang bergeming tanpa ombak.
"Apakah aku masih hidup?" celetuk Jimmy, dan jawaban yang ia dapatkan adalah sebuah tamparan dari Ignacio.
Samar-samar, mereka mendengar suara nyanyian dari sebuah pulau karang. Suara wanita yang begitu merdu.
"Jangan terlena, Bodoh!" ujar Ignacio dengan sengit pada Jimmy, "Itu suara dari siren yang kita cari!"
"Aku tidak terlena, Bodoh!" sahut Jimmy, "Suara Lorinda jauh lebih indah daripada suara siren tolol itu!"
"Wah, kelihatannya, siren ini memangsa orang yang salah," Ignacio tersenyum.
Mereka mendekati pulau karang tersebut, lantas berpura-pura terlena. Mereka mendapati dua ekor siren bernyanyi di sana. Wajah mereka menyeramkan, dan ekor mereka berbentuk aneh, memiliki cabang-cabang seperti duri raksasa. Tidak ada keindahan. Hanya kengerian.
Jimmy mungkin akan melarikan diri jika tidak mengingat bahwa makhluk mengerikan ini adalah bahan ramuan penawar untuk Lorinda dan Jørgen.
Ignacio menarik belati pada sarung belati di ikat pinggangnya, lalu menyerang siren yang berambut merah. Siren yang berambut hitam terkesiap dan melarikan diri dengan menceburkan diri ke laut.
Jimmy meraih ekor dari siren yang tertinggal, namun siren itu menggelepar dan malah menarik lengan Jimmy sebelum menceburkan diri ke laut, membuat Jimmy turut terseret.
"Igna—"
Ignacio buru-buru menceburkan diri ke laut agar bisa menarik Jimmy ke permukaan lagi.
Jimmy diseret semakin dalam. Jimmy meronta, namun siren adalah makhluk yang tak mengenal ampun. Mereka merayu untuk mencelakai, dan akan dengan senang hati meladeni siapa pun yang menantang mereka.
Ignacio menyelam, terus menyelam sampai berhasil meraih sepatu bot Jimmy, tetapi sepatu itu malah terlepas karena siren yang menyeret tubuh Jimmy lebih kuat.
"Sial!" umpat Ignacio dalam hati sambil terus menyelam lebih dalam.
Ignacio menyadari batasan yang dimiliki oleh Jimmy dan dirinya sendiri. Siren itu lebih unggul karena perairan adalah habitatnya.
Jimmy terus berusaha melepaskan diri, dan teringat bahwa dia memiki senar dan kail di sakunya. Dengan salah satu tangan yang masih bebas, Jimmy menarik senar dan kail itu keluar.
"Lantas, apa?" pikir Jimmy. Napasnya sudah hampir habis. Jimmy membiarkan kail itu mengambang, sedangkan ia memegangi senar yang terulur mengikutinya.
Ignacio meraih kail itu dan menancapkannya pada batang belatinya. Ignacio dan Jimmy tahu, ini cara yang tolol. Sebuah belati, sebuah kail, dan jari Jimmy tak akan mampu membawa Jimmy kembali.
Ignacio sudah ketar-ketir. Kalau Jimmy mati di sini, di tangan siren, sedangkan ada Ignacio bersamanya, maka Ignacio akan dianggap lalai dan dihukum, juga menghadapi sanksi sosial berupa amarah dari keluarga Harvest dan Baszak, lalu dikucilkan oleh keluarga Fillion karena kegagalannya.
Jimmy merasa lemas. Napasnya benar-benar habis. Namun, Jimmy baru teringat jika dia menyimpan sebuah pisau serba guna di saku satunya. Dia meraih pisau itu dengan susah payah, lalu menyayat pergelangan tangan si siren.
Ketika siren itu melepaskan pegangan pada lengan Jimmy karena tangannya terluka, Jimmy mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa untuk kembali ke permukaan air.
Ignacio juga naik ke permukaan untuk bernapas. Di atas, Jimmy menghirup udara sebanyak yang ia mampu.
"Aku hampir mati!" seru Jimmy, "Aku harus menceritakannya pada Lori—" Jimmy terseret kembali, namun kali ini Ignacio berhasil menahan tangannya.
Ignacio menarik tangan Jimmy ke atas, sedangkan si siren menarik kaki Jimmy ke bawah.
Jimmy mengeluarkan tongkat dari balik kemejanya dengan tangan yang masih bebas, lalu mengarahkannya pada si siren. Tongkat itu mengeluarkan arus listrik yang langsung menyengat si siren, dan tentu saja berdampak pada Jimmy dan Ignacio karena mereka berada di perairan yang sama.
Jimmy memberikan setruman beberapa kali hingga siren itu mati gosong. Ignacio dan Jimmy ikut gosong meskipun tidak sampai mati. Mayat siren itu mengambang, sehingga memudahkan mereka untuk membawanya kembali ke pulau karang.
"Kita bisa mati!" sembur Ignacio.
"Setidaknya aku tidak mati sendirian!" balas Jimmy.
Mereka menyeret mayat siren itu ke perahu, dan berlayar kembali ke pantai.
"Akankah ada badai lagi?" kali ini Jimmy tidak terdengar panik, bahkan andaikan badai datang lagi. Dia sudah hampir mati di lautan karena diseret oleh siren, sehingga bayangan akan kematian dalam badai tidak terasa menyeramkan lagi baginya.
"Kurasa tidak," Ignacio menengadah pada langit yang cerah.
Ketika mendekati pantai, mereka melihat samar-samar dua siluet wanita.
"Kuharap mereka bukan siren-siren yang sudah berhasil menjadi manusia," celetuk Ignacio.
-Ema Puspita Loka-
KAMU SEDANG MEMBACA
SIHIRA
FantasyApa yang akan terjadi ketika seorang gadis yang biasanya hidup normal tiba-tiba harus berkecimpung dengan dunia sihir, apalagi menjadi korban? Lorinda Castillian menjadi siswi Sihira di kerajaan sihir Taika, dan akan mengalami banyak hal di luar ken...