⚠️️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Perasaan senang semakin membuncah ketika aku membawa sekotak kue ulang tahun yang sudah kubeli. Tak hanya tertarik pada tampilan luar, aku lebih tertarik pada sensasi saat memakannya. Kue, krim, rasa manis. Semua tentang kue ulang tahun adalah kebahagiaan yang aku cari dari suatu makanan.
Tanpa disadari, senyumanku terbenam. Lihat, terpampanglah orang keji yang tengah melakukan perundungan. Tiga lawan satu, dan semuanya perempuan. Tak bisa kupikirkan di mana letak otak dan hatinya saat sengaja melakukannya di depan umum. Mereka malah tersenyum puas, seolah sedang memamerkan 'prestasi' mereka.
Aku menyapu sekitar dengan penglihatanku. Tak ada tanda-tanda ada orang yang akan membantu. Maka dari itu, kuputuskan maju sendirian untuk mengusir mereka. O, tidak, aku tak sendiri, karena ada kue ulang tahun yang setia menemani.
"Woi!" seruku, "kalian semua gabut?"
Sontak mereka menghentikan aksi mereka, lalu memandangku dengan tatapan tak suka. Kalau begitu, aku hanya perlu membalas para pelaku dengan tatapan jijik, kan?
"Kalau gabut, mending kerja di tempat bundaku buat ngurusin katering," kataku, yang pasti terdengar menyebalkan di telinga mereka.
Salah satu gadis melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju korban. Dengan congkak, ia mendongakkan kepalanya ke arahku. "Ngapain sih lo? Mau jadi wonder woman?"
Aku tersenyum sombong. "O, jelas. Wonder woman, kan, cantik, pintar, dan suka menolong orang. Beda seratus delapan puluh derajat sama cheetah," ucapku, menyindir para pelaku perundungan.
Setelah merasa kalah telak, salah satu dari mereka memberi kode agar segera pergi dari sana. Namun, sebelum itu, gadis tersebut sempat meluncurkan sebuah umpatan yang ditujukan kepadaku.
"Lo anjing!"
Aku tertawa sejenak, lalu melayangkan flying kiss ke arah mereka. "Bye, para babi!"
Selepas mengeluarkan jiwa sok jagoan, aku langsung menghela napas panjang dan menghampiri seorang gadis yang sedang gemetar. Huft, sebenarnya aku juga sama gemetarnya. Akan tetapi, aku berusaha keras untuk menyembunyikannya agar bisa memberikan kekuatan kepada gadis itu. Jika aku menunjukkan sisi lemah, mungkin kami akan menangis bersama di tempat ini.
"Halo, duduk di sana aja yuk?" tawarku, sembari menuntun gadis itu untuk duduk di kursi yang berada di depan sebuah toko. Aku pun membelikan teh hangat untuk menenangkannya.
Ketika ia sudah meminumnya, aku baru bertanya, "Kamu udah nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa," jawabnya.
Aku kembali menghela napas panjang. "Kenapa mereka jahat banget sama kamu?"
"Mungkin mereka alergi sama orang gendut kayak aku, sampai mereka bilang aku mirip badak." Senyumku mengembang sedikit. Aku bersyukur ketika ia tak segan untuk bercerita. Artinya, aku berhasil membuatnya nyaman.
"Mereka juga bilang, badanku banyak lemaknya," lanjut gadis itu.
"Nih, badanku juga ada lemaknya," balasku seraya mencubit lemak di perutku. Melihatnya, gadis itu tertawa lebar, yang kemudian menularkan tawanya padaku.
"Kamu seharusnya bersyukur kalau mereka bilang begitu. Mereka cuma iri karena hidup kamu lebih sejahtera, masih bisa makan sehari tiga kali, dan kamu lebih bahagia dari mereka," nasihatku. "Lain kali, kalau mereka jahat lagi, jangan takut ya. Kalau masih takut, jangan segan juga buat minta tolong sama orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...