21. Percabangan Pikiran

34 9 5
                                    

⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.

❁╺╼╼╼╼ ❁

Hari ini diadakan classmeet untuk memperingati hari olahraga nasional. Aku, Joe, dan Gery sebagai panitia harus mengoordinasikan anak kelas agar aktif memeriahkan acara ini, sekaligus tertib pula. Karena seluruh anak kelas sudah keluar dan berdiri di dekat lapangan basket, aku jadi bisa sedikit bersantai sambil berteduh.

Sinar matahari pagi ini sedang terik. Untung saja aku memakai jaket sejak berangkat sekolah. Namun, sialnya aku lupa membawa kacamata untuk melindungi mata sensitifku. Berkali-kali aku mencoba menghalau sinarnya dengan telapak tangan, tetapi tetap saja silau.

"Joe! Joe!" panggilku pada Joe yang sedang bersiap menjadi wasit pertandingan bola basket. Yah, lelaki itu malah tebar pesona sembari memainkan peluit yang melingkar di lehernya. Joe sama sekali tak menoleh ke arahku. Mungkin telinganya belum dibersihkan.

Agar tetap fokus, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Di depan kelas sebelas IPA satu, aku mendapati Ezra dan Algaz yang sedang menggiring anak kelasnya ke pinggir lapangan basket. Jujur saja mataku langsung segar. Apalagi visual mereka yang menonjol dibandingkan siswa lain.

Tiba-tiba ada adik kelas yang menabrak badanku, sukses membuat aku tersungkur. Ia sama sekali tak meminta maaf. Menoleh pun tidak.

"Sia, lo kenapa lesehan di situ, sih?" tanya Erik yang segera mengulurkan tangannya. "Mending lo duduk di kursi aja."

Aku berdiri setelah menerima bantuan Erik, lalu menepuk-nepuk seragam olahragaku untuk membersihkan debu. "Duduk di mana?"

Erik menyengir. "Di kursi pelaminan kita."

Aku tertawa setelah mendengar candaan recehnya. Erik memang suka begitu. "Gue tadi jatuh tahu, Rik. Bukan sengaja lesehan di sini."

"Eh, sorry, gue nggak tahu," katanya. "Coba lo ulang jatuhnya gimana, biar gue tahu."

"Mending lo aja yang jatuh, biar gue ketawa." Aku balik menyuruhnya. Lagi pula, Erik dan ucapannya sama-sama aneh.

Erik tersenyum miring. "Tadi lo udah ketawa, Sia. Astaga, harusnya gue rekam buat barang bukti, ya," ujarnya. "Tapi beneran deh, ayo duduk sama gue sambil ngobrol. Ke tempat yang lebih adem deh, di depan kelas itu."

Kedua manikku mengikuti arah jari telunjuk Erik. Kami pun berjalan bersama ke sana. Setelah sampai, aku dan Erik duduk di lantai sambil menonton pertandingan basket yang akan segera dimulai. Panitia juga butuh bersantai, kan?

"Eh, Sia, lo kenal Joe sejak lama?" tanya Erik secara tiba-tiba.

Aku menganggukkan kepala. "Sejak masih bocah sebenarnya. Apalagi rumah kita juga sebelahan. Kenapa emang? Lo suka sama dia?"

Mendengar itu, Erik langsung bergidik ngeri. "Dih, ternyata mulut lo lemes banget ya, Sia. Gue nanya doang."

"Terus kenapa dong?" desakku.

"Nggak apa-apa. Gue cuma penasaran aja, lo pernah naksir Joe nggak?"

Erik memang cerewet, tetapi ia berhasil membuat fokusku tetap terjaga. Jika fokusku hilang beberapa saat saja, mungkin aku sudah pingsan. Lebih-lebih aku yang juga mengidap anemia. Ditambah dengan matahari yang sedang terik-teriknya. Tubuhku memang tak sekuat kelihatannya.

"Jujur pernah. Mungkin pas gue masuk TK? Tapi lama-lama perasaannya hilang gitu aja. Kayaknya sih karena waktu itu gue cuma dekat sama Joe, jadi opsinya cuma dia." Aku tertawa ketika mengingatnya. "Pas udah nggak ada perasaan apa-apa lagi, gue jujur sama Joe kalau gue pernah naksir dia. Ternyata dia juga pernah naksir gue, dan itu cuma sementara. Jadi satu sama deh."

Life is a Box of CrayonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang