⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
👤 Andromeda
Seorang albinisme sama sekali tidak menginginkan dirinya menjadi albinisme. Jadi, jangan sekali pun menyalahkan mereka.
Komentar
👤 Cellyst
Bener banget
👤 Rickie
Setuju. Jangan pernah mainin kekurangan orang lain
👤 Frost
Albinisme juga berhak bahagia kayak orang-orang pada umumnya
👤 Razzor
Albinisme tetep albinisme. Mau ditutupin kayak gimana juga mereka bakal tetep jadi albinisme. Kalau pakai penutup tubuh kayak jaket pun, nggak bakal bisa menampik fakta kalau mereka punya kekurangan
Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi Razzor mampir ke postinganku dan meninggalkan komentar buruk. Entah sudah ke berapa kalinya ia melakukan hal yang sama, hingga aku sendiri tidak bisa menghitungnya.
Memang apa yang salah jika manusia memiliki kekurangan? Kekurangan orang lain tidak akan membuatnya terlihat lebih sempurna. Kecuali jika ia menganggap dirinya sebagai Tuhan.
Berbicara tentang jaket, aku jadi teringat jaket yang sedang kujemur di halaman belakang rumah. Meski sudah malam, aku berharap besok pagi jaket itu sudah kering, sehingga siap untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Kejadian di mana lelaki itu melemparkan jaket kembali terulang di pikiranku. Hanya sekilas aku bisa melihat wajahnya. Namun, sepertinya samar-samar aku bisa mengingatnya. Aku harap, aku tidak melupakan wajah itu agar bisa segera menyelesaikan urusanku dengannya.
Jika diingat-ingat, waktu itu aku tidak merasa terlalu marah. Atau, malah merasa beruntung? Ia dan jaketnya berhasil menyelamatkan tubuhku. Pun cipratan air itu sama sekali bukan masalah besar. Toh, sebelumnya aku sudah terlanjur basah kuyup.
Pikiranku tentang kejadian hari ini berhasil mengalahkan komentar buruk yang baru saja kubaca. Hingga pada akhirnya, aku sukses terlelap dengan lampu kamar yang masih menyala.
🖍️🖍️🖍️
Pagi harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Sesekali tersenyum kepada siswa lain tidak membuktikan bahwa aku akrab dengan mereka. Yah, kalau boleh jujur, ingin sekali aku masuk ke lingkaran pertemanan dan akrab dengan banyak orang. Lagi pula, aku termasuk orang yang ramah, kok. Akan tetapi, pikiranku selalu menentangnya.
Sesampainya di kelas, aku bertemu makhluk bernama Joe. Kali ini ia sedang waras, karena tidak membawa Unyil, kucing liar adopsinya. Mungkin dompetnya sudah kembali terisi. Jadi, Joe bisa membelikannya sesuap whiskas.
"Tumben banget, belakangan ini lo berangkatnya pagi-pagi gini," kata Joe, memancing keributan.
Aku yang baru saja duduk dan mengeluarkan liptint pun menoleh sinis. "Ya, terus? Gue harus berangkat siang-siang, Joe?"
"Emm, nggak juga sih," balasnya. "O, iya, lo nggak apa-apa?"
Mendengarnya berkata begitu, sedikit membuatku curiga. Seakan-akan ada seseorang yang memberi tahunya jika semalam Razzor kembali berulah. Padahal aku sudah memakai topeng terbaikku dan Joe pun sudah menghapus spotlight sejak beberapa minggu yang lalu. Pastinya ia tidak mengenal sosok Razzor. "Kenapa nanya gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Novela JuvenilAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...