19. Dosa yang Dibagi Dua

43 11 4
                                    

⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.

❁╺╼╼╼╼ ❁

Aku dan bibi berjaga di depan kamar inap Anneth. Kini bibi sudah tampak lebih tenang, meski masih sesekali meremas jemarinya karena mendadak khawatir. Berkali-kali aku mengatakan kepada bibi bahwa Anneth akan baik-baik saja dan ia tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri.

"Anneth hipoglikemia lagi." Begitulah bibi memberitahuku.

"Anneth maksa buat pergi ke kantor agensi, katanya ada masalah penting. Padahal pagi itu dia kelihatan pucat, terus masih minum obat-obatan juga."

Perkataan bibi beberapa jam yang lalu terus menghantuiku. Nada bicaranya terdengar sedih, hingga aku harus selalu mengatakan bahwa Anneth akan sembuh seperti sedia kala. Aku memperkuatnya, tetapi tak ada seorang pun yang membuatku kuat.

Malam itu, bibi menyuruhku pulang. Beliau tidak mau aku melewatkan kelas besok. Mau tak mau, aku menurutinya. Lagi pula, jika aku di sini, entah apa lagi yang akan terjadi pada Anneth.

Aku mengendarai sepeda motor seperti orang linglung. Terkadang pikiranku kabur entah ke mana, sehingga aku harus menggelengkan kepala agar kembali sadar. Kalian harus percaya jika aku masih ingin hidup.

Pukul sepuluh malam, aku sampai di kamar kos. Aku merogoh ponsel dan detik itu juga baru menyadari jika baterainya habis, sehingga membuat ponselku mati tak berdaya. Segera aku mendekati stop kontak yang tergeletak di lantai. Sayangnya, charger-ku sedang dipinjam Ezra untuk mengisi daya ponselnya. Sementara itu, kami hanya memiliki satu charger karena milik Ezra rusak.

Kini aku berniat mengecek ponsel Ezra, apakah baterainya sudah penuh atau belum. Ketika menyalakannya, betapa terkejutnya aku saat mendapati notifikasi dari spotlight. Di sana, terpampang Razzor, sebagai nama penggunanya.

Keparat. Jadi, selama ini aku mendekatkan pem-bully itu dengan Sia? Orang yang seharusnya aku jauhkan, orang yang seharusnya aku kutuk, dan orang yang seharusnya musnah dari spotlight agar tak mengganggu Sia lagi. Razzor adalah penyakit, dan aku membiarkan Sia sakit begitu saja.

Aku mengedarkan pandangan ke seisi kamar. Naasnya, aku tak menemukan sosok Ezra di mana pun. Ke mana perginya bajingan itu?

Rahangku mengeras saat mendengar pintu kamar terbuka. Tanpa pikir panjang, aku segera menghampirinya, lalu meninju pipi kanan Ezra hingga lelaki itu jatuh tersungkur. Aku tersenyum miring saat mengetahui bahwa kemampuanku menggunakan tangan kiri semakin meningkat.

Kondisi Anneth dan kebenaran yang aku temukan malam ini sudah cukup membuatku kesetanan. Aku menatap Ezra dengan penuh kebencian saat ia mendongakkan kepala untuk melihat siapa pelaku yang memukulnya. Benar, Ezra, orang itu adalah aku.

"Maksud lo apa tiba-tiba mukul gue?" Ezra bertanya sembari menahan emosi. Kentara sekali dari nada bicaranya.

"Masih berhak lo nanya gitu?" Aku berjongkok di hadapannya. "Sadar, Zra! Lo itu Razzor. Orang yang bully Sia selama ini!"

"Gue bully Sia?" Ezra tampak berpikir. Matanya menatap ke segala arah, dan aku pun mengikuti arah pandangnya. Hingga aku menjadi tahu jika minuman yang Ezra bawa sudah tumpah ke lantai. "Jadi, Andromeda itu Sia?"

Tanpa aku menjawab, Ezra sudah lebih dulu menyadarinya. Ia terlihat lemas, bahkan sedikit pucat. Namun, karena emosiku masih memuncak, aku meraih kerah baju lelaki itu.

"Kalau dari awal gue tahu lo itu Razzor, gue nggak bakal minta tolong sama lo buat ngaku-ngaku jadi Leondra." Digertak seperti itu, Ezra masih belum menjawab. Sepertinya ia masih belum menyangka atas apa yang sudah terjadi. Maka dari itu, akan kubuat ia sadar dan menyadari kesalahannya.

Ezra menatapku. "Jadi, lo bakal ngasih tau semuanya sama Sia? Lo nggak bayangin gimana perasaan dia pas tahu kalau lo yang nyuruh Razzor buat ngaku-ngaku jadi Leondra dan jadi deketin dia?"

Aku tertegun dengan ucapannya. Semua itu benar, dan aku tidak bisa mengelak. Masalah ini tidak akan terjadi jika aku tidak meminta Ezra agar berpura-pura menjadi aku. Akan tetapi, Ezra juga tetap salah. Jika saja ia tidak merendahkan Andromeda di spotlight, rencanaku akan berjalan lancar.

Di antara kami berdua, tak ada yang namanya korban. Satu-satunya korban atas masalah ini adalah Sia.

Aku dan Ezra akan selamanya menjadi pendosa, yang dengan tidak tahu malunya telah menaruh ketertarikan kepada korban yang telah disakiti. Kami berdua pantas mendapatkan dosa, yang dibagi sama rata oleh Tuhan.

"Iya," jawabku setelah berpikir cukup lama, "gue mau berhenti bohong."

Ezra mengubah posisinya menjadi duduk dengan bersandarkan tembok. "Gimana caranya? Lo mau ngasih tahu semuanya ke Sia?"

"Lihat sendiri aja nanti. Lo punya mata," ujarku.

Aku berdiri, lalu pergi dengan membanting pintu. Aku masih berbaik hati, karena membiarkan bajingan itu tidur dengan nyaman di kamarnya. Sementara itu, aku akan tidur di ruang tamu kos dengan pencahayaan minim karena lampu sudah dimatikan.

Beruntungnya aku saat menemukan stop kontak dan charger tanpa pemilik. Setelah mengetahui jika tak ada satu pun orang di ruangan ini, aku diam-diam mengisi daya ponselku dengan charger tersebut.

Ponselku menyala. Aku segera memasang earphone, kemudian memutar lagu dengan volume sedang. Cara ini cukup berhasil memulihkan emosiku yang terkadang naik turun. Namun, bukan berarti bisa mengobatinya secara total.

Giliran lagu You Are the Reason milik Calum Scott yang mengalun di telingaku. Aku yang tadinya berusaha tidur langsung membuka mata. Sel-sel otakku bersinergi menciptakan sosok gadis albino yang membuatku pening akhir-akhir ini.

Ingin sekali rasanya mengirimkan pesan singkat, bertanya apakah Andromeda masih terjaga. Akan tetapi, aku mengurungkan niat ketika mengingat Ezra. Semua perhatian yang aku berikan melalui spotlight hanya akan dianggap Sia sebagai perhatian yang diberikan oleh Ezra. Semakin sering aku mengirim pesan di spotlight, semakin kecil juga harapan agar Sia menoleh ke arahku.

Namun, bukankah semua itu merupakan keinginanku sendiri?

Sadar, Algaz! Jangan sampai kamu mendorong Sia ke jurang kesialan, seperti ibu dan kakak perempuanmu.

Sebagian otakku mengatakan demikian. Namun, aku tetap ingin dekat. Persetan dengan itu semua, sekarang aku benar-benar membuka spotlight. Tanpa pikir panjang, aku segera mengetikkan sebuah pesan di roomchat-ku dengan Sia.

👤 Leondra
Sia, semuanya bohong. Leondra yang asli itu aku, Algaz, bukan Ezra. Kamu harus percaya

Pesan itu hanya bertahan beberapa menit, sebelum akhirnya kuhapus kembali karena tak yakin. Tidak semestinya aku mengakui kebohongan kami melalui pesan singkat. Aku tidak boleh pengecut.

Aku dan Sia harus bertemu sesegera mungkin. Dengan itu, aku bisa mengungkapkan semua dosa yang aku dan Ezra lakukan selama ini.

❁╺╼╼╼╼ ❁

Gentleman sekali Bapak Algaz ini. Kira-kira beneran punya nyali buat jujur sama Sia ga, ya? Kita tunggu jawabannya setelah update bagian baru lagi hihi.

Jangan lupa pencet bintang 🌟

Life is a Box of CrayonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang