13. Untuk Pertama Kalinya

63 20 3
                                    

⚠️️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.

❁╺╼╼╼╼ ❁

Senyumku mengembang ketika Ezra berjalan di sampingku. Lelaki itu juga sama. Bedanya, senyum Ezra tak selebar senyumanku. Atau, memang visual wajahnya yang cerah, membuat Ezra memiliki aura menyenangkan?

Aku tak tersenyum tanpa alasan. Selain bisa pergi bersama, aku juga ingat ucapan Algaz yang mengatakan jika Ezra sering berbicara tentangku. Mengingatnya saja sudah membuat perutku geli.

"Sia, beli makanan yuk," ajak Ezra, membuatku mengangguk dengan senang hati.

Ezra tak membeli makanan ringan seperti yang aku pikirkan. Melainkan ia mengajakku makan nasi uduk di warung pinggir jalan. Sungguh, Ezra tidak mudah ditebak.

"Gue udah sarapan. Tapi pas lihat makanan enak, gue lapar lagi," jelas Ezra tanpa ditanya.

Meski pada akhirnya Ezra makan dengan lahap, aku memilih untuk tidak memesan apa pun. Aku sudah sarapan, dua porsi nasi goreng buatan bunda. Bisa kujamin, masakan bunda sepuluh kali lebih nikmat daripada masakan di luar. Maaf ya, mas-mas nasi uduk. Kali ini cukup Ezra yang menjadi rezekimu.

"Enak, Zra?" tanyaku basa-basi.

"Enak," jawab Ezra dengan mulut penuh.

Sembari menunggu Ezra selesai makan, aku mengirimi Joe pesan. Untungnya ia sedang online. Mungkin gara-gara efek jomlo yang mendarah daging.

To: Joe

Joe, akhirnya gue bisa pergi sama Ezra. Seneng banget! ( ◜‿◝ )

Beberapa saat kemudian, Joe segera membalas pesanku.

From: Joe

Sesungguhnya, jika sepasang muda-mudi sedang bersama, orang ketiganya adalah tukang parkie

*parkir

Aku tertawa. Dari dulu, Joe belum berubah. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat sepertinya.

Segera aku mematikan ponsel ketika Ezra sudah membayar makanannya. Ia tersenyum singkat, lalu menghampiriku.

"Tokonya yang itu, kan?" tunjuk Ezra ke sebuah optik yang berada di seberang jalan.

"Ayo, ke sana. Motornya biar ditinggal di sini," sambungnya, dan aku pun balas mengangguk. Ia memang sengaja parkir di tempat sepi. Supaya tidak bayar parkir, katanya. Entahlah, memang ada batas tipis di antara cerdik dan pelit.

Ezra menggandeng tanganku sebelum menyeberangi jalan yang cukup ramai. Sesampainya di sana, aku segera mengujarkan keperluanku kepada optisian. Selagi menunggu optisian mengambil kacamata, Ezra sempat mengajakku bicara.

"Kenapa lo beli kacamata photochromic?" tanya Ezra. Sedikit membuatku bingung, karena seharusnya ia sudah tahu jawabannya.

Aku mengedipkan sebelah mata. "Mata gue, kan, sensitif."

Ezra tertawa. "Lo kayak vampir di dunia nyata, ya?" ucapnya, "tapi, lo versi cantiknya."

🖍️🖍️🖍️

Aku tidak perlu memeluk pinggang Ezra, atau memegang jaketnya. Karena, Ezra mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Aku sendiri hanya tersenyum sambil sesekali memegangi kacamata photochromic yang sudah kugunakan.

Sebelum naik motor, Ezra sempat membantu memakaikan kacamata, setelah melihatku beberapa kali memejamkan mata karena silau. Namun, sekarang apa? Bukannya terik, kondisi langit malah berubah teduh. Sepertinya matahari sedang mempermainkanku.

Life is a Box of CrayonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang