⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Tatapan kami sempat bertemu sebanyak dua kali, atau lebih? Namun, yang aku dapatkan adalah ekspresi bingung Sia. Gadis itu seolah bertanya alasanku menatapnya. Kalau dipikir-pikir, iya juga, ya? Kenapa aku menatapnya?
Seusai anak-anak bersiap kembali ke kelas, aku berpikir akan meluruskan masalah ini dengan Sia. Aku tidak mau Sia berpikir macam-macam.
"Sia--" Ucapanku terpotong ketika Ezra lebih dulu menghampirinya.
"Mau beli minum dulu nggak? Gue yang traktir deh," kata Ezra, yang segera mendapat anggukan dari gadis itu. Benar-benar gadis yang naif.
Sayangnya, kelasku mempunyai arah yang sama dengan arah kantin. Jadi, mau tak mau aku harus berjalan di belakang Sia dan Ezra. Yah, terlihat seperti aku sedang menguntit mereka. Entah siapa yang lebih menyedihkan. Aku yang seolah mengikuti mereka, atau Ezra yang berperan menjadi aku. Dunia itu rumit, layaknya para ilmuwan yang meributkan bentuk bumi yang bulat atau kotak.
Tiba-tiba Joe menepuk bahuku. "Gue temenin, Bro Al. Biar nggak kelihatan jomlo-jomlo amat."
"Lo juga jomlo," ejekku.
"Ya, makanya itu. Partner gue, kan, lagi dipinjam sama teman lo."
Pada akhirnya, yang mengikuti Ezra dan Sia bukan cuma aku, tapi Joe juga. Aku berusaha setengah mati untuk melapangkan dada, sekaligus memantau kinerja Ezra yang sedang menggantikanku.
"Btw, kenapa lo jadi manggil gue Bro Al?" tanyaku pada Joe.
"Broken Algaz," jawab Joe dengan entengnya, "cocok banget sama keadaan lo sekarang."
Aku tersenyum tipis, meski isi kepalaku sudah memanas. "Gue kira, bro itu brother."
"Kebagusan buat lo."
Selain Joe, Ezra juga seorang komedian. Lihat saja, Sia sudah tertawa sembari memukuli lengan lelaki itu. Kantin yang biasanya terasa dekat, sekarang seperti jauh sekali. Kenapa bisa begitu, ya? Hampir saja aku menanyakannya pada Joe. Akan tetapi, lelaki itu malah sibuk memenceti jerawat yang tumbuh di dagunya. Ternyata Joe sudah besar.
Ketika Ezra dan Sia berbelok ke kantin, barulah Joe kembali bersuara. "Sabar ya, Bro Al. Kapan-kapan kita lihat kembang api bareng biar nggak kelihatan jomlo lagi."
Aku mendecih. "Gue nggak mau nge-gay."
"Dih? Itu tanda persahabatan, bukan nge-gay," elak Joe.
"Lo cepat balik ke kelas lo aja. Kelas gue udah di depan." Hanya itu yang bisa aku katakan supaya Joe segera pergi dan berhenti mengatakan omong kosong.
Aku perlu menjernihkan pikiran, seorang diri.
🖍️🖍️🖍️
Padahal masih kesal, tapi kini aku sedang bersama Ezra di balkon kos. Ia duduk di kursi sambil bermain ponsel, sedangkan aku duduk di lantai. Diam saja? Tidak. Aku sedang menggambar dengan bertumpu meja kecil. Krayon ini bergerak mengikuti imajinasiku, menciptakan gambar sepasang kekasih yang sedang duduk di pinggir pantai ditemani cahaya oranye khas langit senja, seperti cerita seseorang di spotlight.
Aku cukup meniru langit senja dari balkon kos ini. Selebihnya, aku serahkan pada imajinasiku. Krayon oranyeku habis. Sebagai gantinya, aku mencampur warna merah dan kuning.
"Lo belum selesai, Al?" tanya Ezra, yang tetap tak mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Aku menggeleng. "Belum. Bentar lagi."
Meski tak sedang menatapnya, aku merasakan tatapan Ezra yang sedang menusukku. "Gue kayak nungguin anak kecil lagi main tahu nggak?" katanya.
Ezra kembali ke mode menyebalkan. Lelaki itu banyak bicara. Tak sekali pun Ezra mencoba memahami kenapa aku menyukai sesuatu berbau seni. Jika sudah begini, bisa dipastikan jika Ezra akan melanjutkan protesnya. Tentunya, dengan cara yang menyebalkan.
Untuk membuktikannya, aku menoleh ke arah lelaki itu, menunggu Ezra melanjutkan kalimatnya.
"Al, lo kenapa nggak nge-dance kayak si Joe aja sih? Lagian lebih keren lo daripada Joe itu." Aku tetap diam sembari berancang-ancang mendengar ucapan selanjutnya. "Tapi, lo malah diam-diam main krayon gini. Image lo di mata gue jadi beda."
Lelaki itu benar-benar kembali. Ezra berubah menjadi sosok yang berbeda jika menyangkut sesuatu yang tak lazim ia temui. Jika ia mengatakannya pada orang lain, mungkin saja orang itu akan menganggapnya sebagai candaan. Akan tetapi, bagiku tetap tidak.
Sisi Ezra yang ini hanya muncul sesekali. Selebihnya, ia seperti seseorang yang ada di pikiran orang-orang. Ezra yang ramah, suka bercanda, dan tidak canggung ketika bertemu orang baru. Mengingatnya saja membuatku ingin menjadi Ezra.
"Emang dulu image gue gimana?" tanyaku, yang sudah kembali memfokuskan diri pada gambar sore ini.
"Lo kayak cowok dominant yang keren, sih, menurut gue. When we first met, i thought you looked a bit bossy," ungkap Ezra. "Tapi, nyatanya nggak. Lama-lama lo nunjukkin warna asli lo. Lo yang agak tertutup, jarang cerita juga ke gue, dan yang ini, lo suka gambar pakai krayon. Itu sedikit aneh buat gue."
"Makasih lo udah mau jujur," kataku. "Tapi, Zra, lo nggak bisa ngatur hobi orang."
"Loh? Gue nggak ngatur. Kayak yang lo bilang, gue cuma bicara jujur biar nggak ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Itu penting buat kita biar bisa tahu satu sama lain. Apalagi kita teman satu kamar kos, juga teman sebangku."
Sebenarnya jarang sekali Ezra bisa diajak berbicara serius begini. Menurutnya, bermain ponsel lebih menyenangkan daripada berbicara dengan batu sepertiku. Bicara empat mata begini ternyata menimbulkan dua efek. Yang pertama, aku menjadi agak sensitif dengan ucapannya. Sementara yang kedua, aku bersyukur kami bisa selangkah lebih dekat karena hal ini.
"Sejujurnya, gue masih penasaran, kenapa lo lebih milih gambar pakai krayon. Siapa tahu, alasan lo bisa bikin pikiran jelek gue hilang. Tapi, gue nggak mau maksa lo buat jawab," lanjut Ezra ketika aku tak segera menyahuti ucapannya.
Aku meletakkan krayon warna kuning yang kugenggam sedari tadi. Tak lagi menatapnya, aku lebih memilih untuk menyelami gambarku sendiri yang masih setengah jadi.
"Gue pengin jadi krayon yang padat dan kuat. Makanya gue nggak pakai cat minyak atau cat air," jawabku. "Kalau gitu, kenapa gue nggak pilih pensil warna? Ya karena krayon punya warna yang lebih menonjol."
Sama sekali aku tidak bisa melihat bagaimana respons Ezra, karena aku duduk sedikit membelakanginya. Walaupun begitu, aku harap Ezra bisa menerima jawabanku.
Setelah beberapa saat, aku memutar badan agar sepenuhnya menghadap Ezra. "Sampai sini, lo udah bisa nangkap maksud gue, kan?"
Ezra tampak bingung. Alih-alih kembali menjelaskan, aku memilih untuk membiarkan Ezra berpikir. Biar saja ucapanku ini menjadi pekerjaan rumahnya.
"Lagian, gue udah janji buat jadi krayonnya seseorang."
Ucapan itu menjadi akhir manis dari percakapan kami di sore itu. Entahlah, Ezra akan menganggapnya sebagai apa. Semoga kami mempunyai satu sel otak yang sama agar Ezra bisa memahami apa yang aku maksud.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Astaghfirullah, dah berapa lama ga update? *Istighfar lagi*
Maaf banget ya, karena belum bisa kasih yang terbaik buat tokoh-tokoh di sini dan buat kalian yang masih baca cerita ini. Makasih banyak juga udah sabar nunggu ಥ‿ಥ ♡
Semoga ke depannya semua urusan bisa dilancarkan biar bisa nyambi bikin cerita ini. Aamiin.
Jangan lupa pencet bintang 🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Fiksi RemajaAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...