5. Intuisi Untuk Bertemu

93 26 4
                                    

⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.

❁╺╼╼╼╼ ❁

Aku Algaz, seseorang yang terlalu kaku, bahkan untuk menyunggingkan senyum. Hari ini benar-benar hari libur yang membuatku bingung harus melakukan apa. Pada akhirnya, aku berada di sini, sedang duduk sambil menatap jalanan yang tampak ramai. Sesekali kuangkat camcorder yang kubawa untuk merekam kondisi sekitar.

Awalnya terlihat nomal. Namun, ketika mengarahkan kameraku pada satu titik, aku menjumpai perundungan di tempat umum. Hampir saja aku mengambil langkah, sebelum seorang gadis menegur perbuatan mereka. Jadi, aku mengurungkan niatku dan kembali duduk.

"Woi, kalian semua gabut?" katanya dengan lantang.

Aku terus mengamati. Lebih-lebih tak sadar sudah merekam video gadis itu. Aku baru menyadari hal tersebut ketika ia menatapku, atau, objek yang ada di belakangku?

Setelah berhasil mengusir anak-anak bebal tanpa rasa takut, gadis itu membawa si korban ke bangku panjang yang berjarak lima meter dari tempatku berada. Meski begitu, lamat-lamat aku bisa mendengar obrolan mereka. Padahal aku tidak berniat menguping.

"Kamu seharusnya bersyukur kalau mereka bilang begitu. Mereka cuma iri karena hidup kamu lebih sejahtera, masih bisa makan sehari tiga kali, dan kamu lebih bahagia dari mereka," ucap gadis itu. "Lain kali, kalau mereka jahat lagi, jangan takut ya. Kalau masih takut, jangan segan juga buat minta tolong sama orang lain."

Aku sedikit tersenyum ketika mendengarnya. Ternyata gadis itu sangat bijak. Tunggu, kenapa aku tersenyum? Segera aku mengubah wajahku ke ekspresi semula, takut orang-orang akan menyadarinya dan menganggapku aneh karena senyum-senyum sendiri.

Berusaha melupakannya, aku memutuskan untuk melihat video yang sudah kurekam sejak pagi. Video pun dimulai, menunjukkan lampu tepi jalan yang menyala karena masih menunjukkan pukul lima pagi, dilanjutkan dengan siluet gedung tinggi yang saling berdekatan. Mungkin, jika diberi efek slow motion, videoku ini akan terlihat lebih dramatis.

Videonya tak berhenti sampai di situ. Tampak jika langit mulai terang, sehingga kondisi kota lebih terlihat. Pada saat itu, matahari menggantikan peran lampu jalanan yang sudah terjaga sepanjang malam. Aku juga merekam diriku sendiri dengan mengarahkan camcorder ke kaca toko berukuran besar. Hampir saja aku melupakan scene alay itu.

Beberapa menit aku hanya terfokus pada video yang kurekam, sampai video tersebut sampai pada sebuah scene di mana gadis pemberani itu berhasil membubarkan aksi perundungan. Refleks, mataku bergerak menuju sosoknya, yang ternyata masih berada di sana.

"Spotlight? Wah, aku baru tahu loh. Itu tempat atau apa?" Aku mendengarnya bertanya dengan nada antusias. Suaranya memang terdengar ceria. Pantas saja jika mereka bisa segera mengakrabkan diri.

Akan tetapi, kenapa ia membahas spotlight? Aku sendiri sudah mempunyai aplikasi itu sejak beberapa minggu yang lalu. Alasanku terbilang aneh, karena aku mengunduhnya hanya untuk membaca postingan orang lain, yang memuat perasaan mereka. Hanya dengan tulisan itu, aku bisa mendapatkan inspirasi untuk menggambar. Bukan menggambar menggunakan cat, tetapi krayon.

🖍️🖍️🖍️

Jarang sekali pikiranku dipenuhi oleh sosok lawan jenis. Jadi, kuputuskan untuk pergi ke studio dance, tempat di mana temanku menggempur tubuhnya hampir setiap hari. Aku tidak perlu khawatir jika ia tidak ada di sana, karena aku yakin ia pasti ada. Orang gabut sepertinya akan dengan senang hati melakukan hobinya.

"Kucing baru lagi?" tanyaku basa-basi ketika melihat Joe sedang berjongkok sambil mengelus anak kucing.

Joe pun bangkit. Ia terlihat sedikit heran dengan kedatanganku yang tiba-tiba. "Iya dong, Al. Dia sendiri yang datang ke studio dance," jawab bapak kucing itu. "Btw, lo ngapain ke sini?"

"Lo ngusir gue?

Jelas sekali wajah Joe panik ketika aku mengatakannya. "Nggak gitu. Maksudnya, tumben aja lo nggak pakai bilang."

Aku duduk di lantai kayu di pojok ruangan, diikuti Joe dan juga anabulnya. "Emang gue sering chat lo? Gue kalau butuh juga bakal langsung ke sini."

"Lama-lama gue kayak toilet. Didatangin pas butuh doang," ujarnya, terbawa perasaan. "Tapi, berarti ini lo beneran lagi butuh gue dong? Lo mau cerita apa? Astaga, maaf gue baru connect."

Helaan napas panjangku membuat Joe semakin kebingungan. Wajar saja, ia memang lemot. Namun, kalau boleh jujur, Joe merupakan sahabatku yang paling pengertian. Ia lebih paham kondisiku tanpa aku mengatakannya terlebih dahulu. Tak hanya itu, kepolosannya patut diacungi jempol, hingga aku tidak bisa melihat sisi munafik yang dimiliki oleh mayoritas manusia. Meski begitu, Jangan salah sangka. Joe bisa menjadi singa yang siap menerkam mangsanya jika sedang menari. Ia tak akan membiarkan para gadis bernapas walau sedetik.

"Joe, kayaknya gue tertarik sama cewek," ungkapku, "tertarik ya, bukan suka."

Joe memicingkan matanya sambil menatapku. "Emang biasanya lo homo?"

Aish, ia merusak suasana. "Gue belum selesai ngomong," peringatku, membuat Joe mengunci mulutnya. "Cewek itu keren. Gue baru nemu yang modelan kayak dia. Biasanya cewek yang punya suara ceria, dia cenderung manja, juga penakut. Tapi, dia beda. Suaranya menyenangkan, dan dia pemberani."

"Lo sempat ngerekam dia? Biasanya lo suka bawa camcorder, kan?" tanya Joe, mengharapkan jawabanku. "Gini-gini gue bisa baca aura orang lewat mukanya."

"Pret," ejekku, tapi tetap mengeluarkan camcorder dari tas, kemudian menunjukkan videonya kepada Joe.

Ekspresi Joe biasa saja, sebelum akhirnya ia membelalakkan mata saat gadis itu muncul di layar. "Kenapa?" tanyaku, penasaran.

Joe diam sebentar, lalu menatapku. "Ini mah sahabat gue, anjir! Dia albinisme."

Mendengar itu, aku ikut membuka mata lebar-lebar, sehingga kami lebih terlihat seperti sedang adu melotot. "Serius?"

Aku sendiri juga terkejut ketika mengetahui sebuah fakta bahwa gadis itu seorang albinisme. Memang, sih, gadis itu berkulit putih pucat. Namun, aku sendiri tak begitu mempersalahkannya, karena aku lebih dulu tertarik pada apa yang dilakukan gadis itu.

"Ngapain gue bohong?!" Benar juga sih. Untuk apa Joe berbohong tentang hal seperti ini. "Lo mau deketin dia? Lewat gue aja, Al. Nanti gue bantu deh."

Aku menggeleng. "Nggak. Gue mau usaha sendiri. Dia juga kayaknya mau bikin akun spotlight. Jadi, nanti gue tinggal cari dia di sana."

"Gila lo?" seru Joe, tidak percaya dengan ucapanku. "Gue dengar, sekarang spotlight udah mulai banyak yang download. Lo mau cari dia tuh ibarat cari jerami di tumpukan jarum."

"Cari jarum di tumpukan jerami," ralatku segera. "Tapi, gue yakin bisa nemuin dia."

❁╺╼╼╼╼ ❁

Nasib selalu sendiri, jadi hampir lupa malam minggu sudah datang lagi.

Waduh, pov Algaz yang pertama nih. Tokoh lain antri dulu ya. Jangan sampe bingung kalau tiba-tiba ganti pov jadi Ezra, Joe, Anneth, atau Sia lagi.

Sekalian mau tanya, udah mabok daging kurban belum? Aku sih maboknya gara-gara kebanyakan tidur. Nggak ding, lumayan produktif kok (✿^‿^) (makanya itu, jadi mabok)

Jangan lupa pencet bintang 🌟

Life is a Box of CrayonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang