⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Hari ini Anneth menyuruhku untuk menemani Sia selama pemotretan. Ia kira, hal ini mudah bagiku saat harus bersama gadis yang sedang menaruh curiga? Sesekali aku memastikan bahwa perasaan Sia sedang dalam keadaan baik, sehingga tidak akan memengaruhi proses pemotretan. Hal itu juga harus kulakukan agar tahu apakah Sia benar-benar masih curiga, atau sudah berpikir lebih jernih.
Kini penata rias sedang membersihkan riasan tipis di wajah Sia. Tampak bahwa penata rias itu cukup kaget bercampur kagum ketika melihat wajah polosnya. Kulit wajah Sia terlihat pucat, bulu mata lentik berwarna cokelat muda, serta bibir merah muda yang belum terpoles apa pun, cukup untuk membuatku terpana. Walaupun pernah sekali melihat Sia tanpa riasan, entah kenapa, kali ini gadis itu berkali-kali lipat lebih cantik. Apa aku saja yang tidak waras?
"Sia, kayaknya lo nggak butuh krayon," ucapku secara tidak sadar. Meskipun pelan, ternyata Sia menyadarinya dan seketika menoleh ke arahku.
"Tadi lo ngomong apa, Al?" tanya Sia.
Aku baru sadar jika sedari tadi sedang mendengarkan musik melalui headset. Tanganku pun refleks memegang kabel headset itu. "Ah, nggak. Ini gue lagi dengerin lagu a shoulder to cry on." Mengingat bahwa lagu itu masuk ke playlist, aku segera menggunakannya sebagai alibi.
Maaf, karena aku harus berbohong lagi.
Sia menatapku penuh tanya. "Oh, lagu kapan? Gue kok nggak pernah denger, ya?"
"Udah lama," jawabku singkat.
Tak mau terlalu hanyut dalam suasana, aku memilih untuk bermain ponsel sambil mendengarkan musik. Sementara itu, Sia sudah merampungkan riasannya dan kini beranjak ke ruang ganti.
Sebentar. Beberapa waktu yang lalu aku memutuskan untuk tidak menghiraukan Sia. Namun, kenapa pandanganku malah tak bisa lepas dari gadis itu?
Saat ini Sia sudah memakai dress cantik berwarna ivory dengan rambut lurus yang tergerai bebas. Ia pun bersiap untuk pemotretan. Pada awalnya, aku sempat melihat tangan Sia yang bergetar karena gugup. Mungkin karena pemotretan ini adalah pengalaman pertamanya.
Aku membenarkan topi yang telah Sia kembalikan, sembari memantau gadis itu. Meski baru pertama kali mencoba, Sia sudah cukup melakukan yang terbaik. Beberapa kali aku mendengar seruan puas dari fotografer. Sia juga tampak tak terbebani, walau masih sedikit kaku dan malu.
Beberapa jam Sia habiskan untuk menjalani pemotretan. Aku tahu pasti bahwa pemotretan ini bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi fotografer terlalu bersemangat agar Sia selalu mengeksplorasi gaya.
Sekarang aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Aku sendiri tidak mau mengganggu waktu istirahatnya. Tampak bahwa Sia tengah bersantai sembari mengambil selfie sembari memegang bunga. Diam-diam aku pun mengambil potret dirinya yang begitu cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...