⚠️️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Aku ketiduran. Yang terakhir kali kuingat adalah aku yang memasak tengah malam, lalu tertidur setelah perut kenyang. Sungguh kebiasaan buruk anak kos. Padahal dulu aku sangat disiplin.
Meraih ponsel merupakan aktivitas pertama yang kulakukan setelah bangun tidur. Fokusku langsung tertuju pada aplikasi spotlight, kemudian mengecek kotak masuk. Siapa tahu Andromeda mengirim pesan.
👤 Andromeda
Sekarang aku lagi demam. Kalau masih bangun, boleh minta tolong beliin bubur ayam nggak? Nanti kirim ke Jalan Pemuda Nomor 05. Gerbang kayu warna coklat sama cat rumah warna cream. Di halaman rumah ada pohon sirsak. Maaf banget ya udah ganggu tengah malam gini
Aku mengacak rambut, kesal. Seharusnya semalam aku tetap terjaga agar bisa segera membaca pesan itu. Pun untuk urusan bubur ayam, sebenarnya aku bisa membuatnya sendiri. Namun, berhubung sudah tanggal tua begini, persediaan bahan yang aku punya sedang terbatas.
Segera aku menyikat gigi di kamar mandi dalam. Tidak perlu mandi, asalkan Sia bisa sarapan secepatnya. Lagi pula, gadis itu tidak akan mengendus-endus bau badanku.
Selesai menyikat gigi, aku bersiap keluar. Saat memegang gagang pintu, aku baru menyadari bahwa aku bukanlah Leondra yang Sia kenal di spotlight. Hampir saja aku bertindak ceroboh. Jadi, aku melongok ke arah Ezra yang tak kunjung bangun.
"Zra, bangun," gugahku, "lo harus beliin Sia bubur. Nanti alamatnya gue kirim lewat sms."
"Apa sih lo?" gumam Ezra, belum sepenuhnya sadar. Ezra memang suka tidur dan susah bangun. Pasti akan membutuhkan waktu setengah jam lebih untuk membangunkannya, kecuali jika aku tega menyiramnya dengan air.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam, kemudian pergi ke rumah Sia. Aku tidak peduli pada respons gadis itu. Alasannya akan aku pikirkan selama perjalanan.
Sepertinya aku hampir sampai. Aku pun mengamati sekitar sambil mencocokkannya dengan alamat yang diberikan Sia. Sampai akhirnya, motorku berhenti di depan rumah Joe, membuat keningku berkerut.
"Kok rumah Joe?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku pun mencoba membaca alamat itu lagi. Sudah benar, kok. Tapi, rumah Sia berada di samping kiri rumah Joe.
Sudah dua kali aku mampir ke rumah Joe, tapi aku baru tahu jika Sia tinggal di dekat sana. Memang, sih, aku dan Sia baru bertemu belakangan ini. Aku pun bersyukur ia memperlakukanku dengan baik di spotlight. Yah, walaupun kami belum akrab di real life.
Motor itu aku parkir di depan rumah Sia yang terhalang gerbang kayu warna coklat. Rumah Sia sederhana, tapi cukup menyegarkan karena ada taman kecil di halaman rumahnya yang tidak terlalu luas. Aku masuk dan mengetuk pintu dengan hati-hati. Takut mengganggu penghuni rumah.
Ketika mendengar pintu akan dibuka, aku menunduk sembari menggenggam erat plastik yang berisi satu porsi bubur ayam. Pikiranku sudah membayangkan jika orang tua Sia yang menyambutku. Tunggu, kenapa aku memikirkannya?
"Loh, Algaz?"
Aku mendongak panik, sesaat setelah mendengar suara familiar itu. Benar saja. Ternyata Joe. "Gue kira lo Bapaknya Sia."
Joe melongok ke belakang, seolah memastikan sesuatu. Lantas, ia memukul lenganku. "Kok lo, sih, yang datang? Ezra mana?" tanyanya, dengan suara pelan.
"Lagi tidur," jawabku singkat. Setelah sampai di rumah ini, aku seakan hilang pikiran. Entah bagaimana cara menjawab jika Sia bertanya kenapa aku yang datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...