⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Beginilah. Menjadi seorang albinisme memang sedikit merepotkan. Kami memiliki kebiasaan yang wajib dilakukan, tidak seperti orang-orang kebanyakan. Para albinisme seperti aku harus memproteksi diri setiap waktu. Proteksi yang kami lakukan tentunya berfokus pada kulit dan mata. Pun melakukan rangkaian ritual yang tak boleh dilewatkan.
Mengaplikasikan tabir surya, misalnya. Karena sensitif dengan matahari, mau tak mau kami harus selalu membawanya. Layaknya aku sekarang. Terkadang aku juga memakai kacamata photochromic, yang lensanya bisa menggelap otomatis ketika terkena sinar matahari.
Berhubung tempo hari frame kacamatanya patah dan sekarang tidak terlalu terik, aku hanya mengoleskan tabir surya sebelum pergi ke perpustakaan.
"Si Nyonya mau ke mana nih?" tanya Joe yang duduk di mejaku. Nada bicaranya terdengar mengejek.
"Ke pasar, Joe," jawabku asal, seratus persen ingin menghiraukannya.
Joe tergelak. "Wah, titip whiskas yang dry food buat anak kucing dong." Aku langsung memukulinya dengan tabir surya. Tidak peduli pada Joe yang sudah berteriak seperti orang kesetanan.
Setelah selesai menghukum Joe, aku mengibaskan rambut ke wajahnya. "Mau ke perpustakaan nih. Siapa tahu ketemu Leondra."
"Ngimpi!" hardik Joe. "Orang Leondra lagi main teka-teki silang di kelas." Tak lama kemudian, ia menutup mulutnya dengan mata yang terbuka lebar, seolah-olah tak sengaja mengucapkan sesuatu yang tidak boleh diucapkan.
Aku menatapnya penuh selidik. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Demi, gue bercanda doang tadi," balas Joe.
Mau keceplosan atau tidak, aku tidak terlalu memedulikan Joe sekarang. Nyatanya, aku akan ke perpustakaan untuk mencari buku bacaan, bukan mencari Leondra. Lagi pula, kami akan bertemu saat istirahat kedua, bukan istirahat pertama seperti sekarang.
Untuk ke perpustakaan, aku berjalan sendiri, meski tidak suka sendirian. Kalau mengajak Joe, di sana ia pasti hanya akan menghafal koreografi atau membicarakan kucing liar adopsinya, kemudian berakhir dengan pelototan tajam dari pengurus perpustakaan. Karena itu, aku tidak mau mengajaknya.
Sekali lagi, aku berjalan sendiri, meski tidak suka sendirian. Di sepanjang jalan, aku bertemu beberapa siswa yang hanya kutahu namanya. Mereka tersenyum untuk menyapa, dan aku pun membalasnya. Bukannya tidak mau dekat dan berteman dengan mereka. Aku hanya membatasi diri agar mereka tidak mengenalku terlalu dalam, lalu mengetahui bahwa aku seorang albinisme. Aku tidak mau kejadian di masa lalu terulang lagi.
Mungkin mereka hanya mengenalku sebagai gadis cantik yang memiliki darah orang luar. Haha, aku terlalu percaya diri.
Terlalu sibuk berpikir, tak terasa aku sudah sampai di perpustakaan. Aku langsung menyusuri rak-rak tinggi, tempat para buku beristirahat. Melihat buku yang menarik perhatian, aku berjinjit untuk mengambilnya. Untung saja aku berhasil.
Buku yang aku ambil berjudul "The Life-Changing Magic of Tidying Up". Buku itu berisi tentang seni berberes dan metode merapikan ala Jepang. Di sana, sang penulis yang bernama Marie Kondo berkata, "Kita tidak bisa mengubah kebiasaan jika cara pikir kita belum berubah."
Kenapa aku jadi teringat kebiasaanku memakan kue ulang tahun, ya? Memang sih, memakan makanan manis terlalu sering akan berakibat buruk bagi kesehatan. Namun, aku sudah terlanjur menyukainya. Mungkin di masa depan akan ada seseorang yang bisa menghilangkan maniakku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Novela JuvenilAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...