6. Dia yang Menjadi Aku

82 26 6
                                    

⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.

❁╺╼╼╼╼ ❁

Dasar Algaz pikun. Begitulah aku merutuk di sepanjang jalan. Untung saja masker ini menutupi sebagian mulutku, sehingga orang-orang tidak bisa melihatku sedang mengumpat dan sesekali menyalahkan diri sendiri.

Lagi pula, sudah sedekat itu menemukan gadis yang kutemui tadi pagi, bahkan ia berteman dengan sahabatku, tetapi tak sekali pun aku menanyakan namanya. Aku jadi mulai tidak yakin bisa melihat wajah gadis itu dua kali.

Namun, ternyata takdir berpihak padaku. Tak butuh waktu lama untuk menemukan gadis itu kembali, meski hanya di spotlight. Untungnya dia meresponsku dengan baik, sehingga aku tak perlu merasa canggung. Salah satu poin penting mengenai gadis itu adalah ia menjadi satu-satunya sosok lawan jenis, selain kakak perempuanku, yang kuhubungi secara rutin.

Semakin lama kami semakin dekat. Akan tetapi, kali ini aku sedang tidak beruntung. Andromeda buru-buru ingin bertemu. Padahal aku belum mempersiapkan diri, pun mengubur masa lalu yang masih menghantui hingga saat ini.

👤 Andromeda

Leondra, kita satu sekolah kan? Kalau iya, besok kita ketemuan di taman sekolah setelah istirahat kedua ya? Aku tunggu

Aku yang baru saja bangun dari tidurku yang damai, sontak berdiri dengan cepat. Gerakan itu membuatku pusing. Tak bisa dipungkiri, aku pun masih menganggapnya mimpi. Namun, ketika membaca lagi pesan itu selama satu menit tanpa berkedip, sampai-sampai mataku terasa panas, aku baru menyadari jika semua ini nyata. Kenyataan yang tak aku persilakan kedatangannya.

"Zra," panggilku kepada teman satu kos yang sedang bermain ponsel, "gue boleh minta tolong?"

Ezra menatapku sebentar sembari tersenyum. "Boleh dong. Yang penting, jangan minta duit."

Ezra memang begitu. Santai, ramah, dan pastinya murah senyum. Yang mahal, hanyalah wajahnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ezra banyak disukai para siswi di sekolah kami. Akan tetapi, tak sekali pun ia mengenalkan perempuan, apalagi membawanya ke kos.

Aku dan Ezra tampak sebelas dua belas. Bedanya, aku menghindari berinteraksi dengan lawan jenis, sementara Ezra tidak. Lingkaran pertemanan lelaki itu sangat luas, bahkan Ezra bisa saja berteman dengan semua orang di sekolah. Aku tidak sama dengannya. Bisa disebut, aku dikenal hanya karena wajahku dan aku juga cukup berprestasi. Jika tak memiliki keduanya, aku mungkin sudah tenggelam di lautan para siswa.

Aku menatapnya gelisah, tetapi tetap kuusahakan agar tak terlalu kentara. "Jadi gini."

"Apa, Al? Elah, jangan kayak dosen baru kenapa," ucap Ezra, yang kembali berkutat dengan ponselnya.

Ada hening beberapa saat, hingga aku memutuskan untuk berucap, "Lo mau nggak, pura-pura jadi gue?"

Terlihat bahwa Ezra sedang berusaha mengolah kalimatku. Ia diam saja, kemudian berdiri dengan gerakan lambat dan disertai ekspresi bingung. "Gue ... pura-pura jadi lo?" ulangnya, memastikan jika ia tidak salah dengar.

Aku mengangguk ragu. Tentunya aku sangat malu, saat tak ada angin tak ada hujan, aku membicarakan permintaan absurd. Mungkin di kepala Ezra sekarang sudah dipenuhi berbagai pertanyaan, pun pernyataan yang menyebutku tidak waras.

"Kenapa?" tanya Ezra, singkat, tetapi terdengar setengah menimbang. Mungkin bila aku menawarkan sebuah simbiosis mutualisme, ia tidak akan punya alasan untuk menolak.

"Gue temenan sama orang di spotlight, terus gue nggak berani ketemu sama dia," ujarku, mencoba untuk tidak menjelaskan sedetail mungkin. Aku masih malu.

Life is a Box of CrayonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang