⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
"Zra, lo punya madu nggak?" tanyaku pada Ezra yang sedang asyik bermain gadget.
Aku meminta madu bukan tanpa alasan. Saat sedang tidak enak badan, biasanya aku lebih memilih untuk mengonsumsi madu daripada obat. Sejak kecil aku sering membiarkan diriku sakit tanpa tersentuh obat, hingga sakit itu hilang dengan sendirinya. Sampai akhirnya, aku menemukan bahwa madu dapat sedikit membuatku lupa dengan rasa sakit. Jadi, aku mulai mengonsumsi madu saat sakit sejak hari itu.
"Nggak punya," jawab Ezra tanpa melirik keberadaanku. "Btw, lo masih punya utang janji buat traktir gue sebulan, kan? Jadinya kapan nih? Gue udah nungguin."
Bola mataku berputar malas. "Bukannya lo udah beneran suka sama Sia? Posisi lo di sini udah jadi pihak yang paling diuntungkan. Tapi lo masih nagih traktiran dari gue?"
Mendengar itu, Ezra langsung meletakkan ponselnya di meja dan duduk menghadap ke arahku. Tatapannya terlihat kesal. "Lo harus pisahin antara perasaan pribadi gue sama utang janji lo. Jadi, lo harus tetep traktir gue sebulan," ucapnya. "Lo juga jangan ikut campur sama perasaan gue."
🖍️🖍️🖍️
Hingga keesokan harinya, aku tak kunjung pulih. Badanku terasa sedikit menggigil, tetapi juga demam di waktu yang bersamaan. Aku sendiri memang gampang sakit jika terlalu lama terguyur hujan atau berada di tempat dingin. Namun, aku tak menyesal karena aku menghabiskan semua waktuku agar bisa bersama Sia. Aku berharap gadis itu tidak sakit seperti aku.
"Al, kok muka lo pucat, sih?"
Baru saja melintas di pikiran, kini Sia benar-benar sudah berada di hadapanku. Ia mengerutkan alis sambil mengamati wajahku yang 'menurutnya' pucat. Ia tak segera menyingkir ketika aku tak menjawab pertanyaannya. Maaf, karena aku sedang tak punya tenaga. Tolong salahkan imun tubuhku saja.
Aku yang sedikit linglung malah melangkahkan kaki ke kantin. Masalahnya, Sia sedari tadi mengekor di belakangku seperti anak ayam. Entahlah, jika aku boleh berharap, semoga gadis itu sungguh merasa khawatir.
Dengan berusaha untuk tidak mengacuhkan Sia, aku mengambil madu yang kupesan khusus dari salah satu penjual di kantin yang bernama Bu Biyah. Tiap kali aku datang untuk mengambil madu, tampak sekali jika beliau mengkhawatirkanku. Bu Biyah pernah berkata bahwa melihatku sakit seperti melihat ketika anaknya yang tinggal di kampung sedang sakit.
"Kenapa bisa sakit sih, Al?" tanya Bu Biyah setelah aku membayar madu, "padahal Ibu udah lega, soalnya beberapa bulan ini kamu nggak beli madu lagi."
Sekilas ekor mataku melirik Sia yang ikut mendengarkan pembicaraan kami. Sama sekali ia tak menyela dan hanya diam. Hal itu malah membuatku semakin khawatir. Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Aku tak ingin Sia berpikir macam-macam.
"Emang lagi musim kayaknya, Bu." Aku berusaha menjawabnya secara umum, sehingga Bu Biyah tidak bisa bertanya lebih dalam. Aku tidak mau Sia menyalahkan diri sendiri jika tahu kalau aku sakit semenjak hujan deras kala itu.
Sesuai dugaan, Bu Biyah tak bertanya lagi. Ia hanya membiarkanku melangkah pergi. Akan tetapi, masih beberapa langkah, Sia segera menginterupsi. "Lo nggak mau traktir gue, kah? Gue udah nemenin lo sampai sini."
Aku berbalik badan. "Gue nggak nyuruh?"
Jawabanku itu ternyata membuat Bu Biyah menahan tawanya diam-diam. Berbeda dengan Sia yang malah memasang wajah masam. Dari situ aku seakan bisa melihat banyak karakter perempuan.
Aku pun mengembuskan napas panjang. Sepertinya belakangan ini banyak sekali yang meminta traktiran. "Ya udah, lo lagi pengin apa?"
Mata Sia terlihat berbinar setelah mendengarnya. Namun, karena bingung dengan pilihan minuman dan makanan yang terlalu banyak, ia malah membuatku semakin pusing. "Pengin yang manis-manis aja."
"Soda gembira satu, Bu." Akhirnya aku memesan minuman yang menurutku paling enak. Untung saja Sia tak kecewa dengan pilihanku. Ia dengan sabar menunggu minuman itu jadi sembari duduk di kursi panjang dengan menggoyang-goyangkan kakinya.
Setelah soda gembira sudah terbungkus dalam plastik bening yang diberi sedotan, aku menerimanya terlebih dahulu, kemudian dengan sengaja mengocoknya. Lucunya, Sia malah protes. Padahal jika dikocok seperti ini akan membuatnya semakin enak. Lihat saja, gelembung sodanya hampir tumpah dan mengenai tanganku.
Sia mencoba merebut minuman itu. "Jangan dikocok-kocok, Al! Nanti nggak enak!"
Aku tersenyum jahil. "Kata siapa?"
"Kata pak ustaz!" balasnya kesal. "Ya kata gue lah!"
"Bohong."
Namun, tiba-tiba saja Sia terdiam cukup lama, lalu menatap madu yang baru saja kubeli. Aku berpikir keras kenapa Sia hanya diam saja ketika melihatnya. Bahkan ia juga menatapku dengan dahi yang berkerut. Sebenarnya ada apa?
Pada saat itu, ingatanku kembali pada beberapa pesan yang pernah aku kirimkan pada Sia di spotlight. Seketika badanku membeku ketika menyadari hal yang cukup krusial sudah aku tunjukkan secara gamblang di hadapan Sia. Darahku seolah memanas ketika mengetahui kebodohanku di kala yang rentan ceroboh. Aku tidak menjaga diri sendiri dengan baik.
👤 Leondra
Kalo sakit biasanya aku minum madu aja sih, soalnya nggak terbiasa minum obat dari kecil
Ingatan acak mengenai beberapa pesan yang pernah terkirim terus menyerbu ingatanku. Aku ingin berhenti memikirkannya, tapi yang kulakukan malah sebaliknya.
👤 Leondra
Aku sering sakit kalo kehujanan lama dan nggak kuat juga sama hawa dingin. Kamu sendiri gimana?
Dasar bodoh. Aku merutuki diri sendiri setiap kali satu per satu pesan muncul di otakku. Hingga pada akhirnya, aku kembali ke masa sekarang, di mana Sia tengah menatapku lekat-lekat. Aku tidak sanggup jika ditatap demikian. Akan tetapi, aku yakin bahwa ekspresiku sangat terjaga dengan baik. Hal itu karena aku sulit mengekspresikan diri.
Sia menatapku semakin dalam. "Al, gue kok jadi pengin nyicip madu punya lo, ya?"
❁╺╼╼╼╼ ❁
Hi!
Akhirnya balik lagi setelah ngumpulin mood nulis!
Algaz tuh tipe orang yang suka negative thinking yak. Padahal Sia cuma pengin minta madunya. Atau Sia cuma pura-pura nggak sadar aja? Xixixi
Jangan lupa pencet bintang 🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...