⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
"Mampir ke markasnya Joe dulu, yuk. Mau ambil kotak bekal punya Bunda," ajakku karena mendadak teringat dengan pesan bunda untuk mengambil benda itu. Bunda pernah memberikan lauk kepada Joe, tapi sepertinya lelaki itu lupa untuk mengembalikannya.
Ezra terlihat bingung. "Markasnya Joe?"
Gelagatnya yang seolah asing dengan tempat itu membuatku berpikir macam-macam. Akan tetapi, Algaz segera menyela pembicaraan kami. "Oh, itu studio tempat Joe biasa latihan dance. Lo pernah cerita ke gue, tapi belakangan ini katanya udah jarang datang ke sana, jadi mungkin lo agak lupa."
Algaz menjelaskan panjang lebar kepada Ezra disertai dengan senyuman yang tampak dipaksakan. Kenapa pula ia harus repot-repot memberikan penjelasan begitu? Ezra bukannya amnesia. Mungkin saja lelaki itu hanya bingung dengan pilihan kata yang kugunakan.
"Gue tahu kok. Cuma bingung aja sama kalimatnya Sia," tutur Ezra, yang entah kenapa membuatku sedikit lega.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di studio dance. Seperti yang diduga, Joe ada di sana. Lelaki itu memang hobi sekali menggempur tubuhnya di hari libur. Berbanding terbalik dengan aku yang sebenarnya lebih suka berbaring di ranjang sepanjang hari. Aku hanya akan keluar jika benar-benar diperlukan.
"Joe!" panggilku setelah masuk ke ruangan tempat Joe berlatih. Untungnya hanya ada lelaki itu di sini. Jadi, aku tak perlu merasa canggung.
"Loh, Sia?" Wajah Joe terlihat bingung. Namun, menjadi lebih bingung ketika aku membawa pasukan di belakangku. "Kok ada mereka juga?"
"Gue mau ambil kotak bekal," jelasku. "Katanya Ezra udah jarang nyamperin lo ke sini, jadi ya sekalian aja gue ajakin. Kebetulan ada Algaz juga."
Joe menatap Ezra dan Algaz dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Tatapan itu pun hanya berlangsung selama beberapa detik. Selanjutnya, Joe mempersilakan kami untuk duduk di lantai karena tak ada satu pun tempat duduk di ruangan ini. Sementara itu, Joe akan mengambil kotak bekal yang sebelumnya kuminta untuk dibawa karena aku akan mengunjunginya.
"Bentar doang kok gue ambilnya. Kalian ngobrol-ngobrol aja dulu," ujar Joe sebelum pamit.
"Oke, Joe. Santai aja," sahutku.
Kami bertiga duduk di lantai dengan canggung. Padahal beberapa saat yang lalu kami heboh memasak. Mungkin saja suasana di sekitar kami yang sedikit asing bagi mereka, terutama Algaz yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sini.
Aku menoleh ke arah Ezra. "Zra, lo udah nggak ke sini berapa lama?"
Mendengar pertanyaanku, lelaki itu malah melirik Algaz. "Ah, itu, udah lumayan lama, sih," jawabnya, "sampai gue lupa."
"Wajar kok. Gue juga kadang ngerasa gitu kalau udah lama nggak ke sini," ujarku. "Apalagi tempat ini makin rame. Udah nggak setenang dulu."
Ezra tertawa sembari menggaruk bagian belakang telinganya. "Bener banget!"
Hampir saja aku melupakan keberadaan Algaz. Lelaki itu sedang sibuk mengamati ruangan dan sepertinya sedang mencari sesuatu. Ketika tatapannya berhenti pada satu titik, aku pun mengikuti arah pandangnya.
Aku heran saat mendapati Algaz berdiri dan menghampiri lemari es yang ada di pojok ruangan. Tanpa ragu, ia mengambil salah satu botol minuman dan meneguknya lama. Aku dan Ezra hanya mengamatinya hingga lelaki itu kembali duduk bersama kami sembari membawa botol minuman.
"Lo kayak udah sering ke sini ya, Al," candaku, yang malah membuat Algaz yang sedang minum tersedak.
"Gue, kan, lihat ada lemari es," balasnya dengan nada serius. "Kayaknya minuman di sini juga gratis. Kenapa emang?"
Aku tertawa canggung. "Iya, iya, paham kok. Gue cuma bercanda tadi," terangku, "serius amat lo."
"Maklumin aja, Sia," timpal Ezra. "Algaz orangnya emang kaku."
Aku hendak tertawa, tetapi begitu melihat ekspresi Algaz, aku pun mengurungkan niat. Seram juga ketika Algaz menatap Ezra dengan tatapan tajam. Padahal Ezra jelas-jelas sedang bercanda. Entahlah. Aku tidak tahu persis apa yang membuatnya sensitif seperti itu.
Botol air minum Algaz sudah habis bersamaan dengan datangnya Joe, yang katanya hanya pergi sebentar. Joe yang hendak duduk pun terpaksa mendongakkan kepala, begitu pula kami, saat mendapati Algaz yang malah berdiri.
"Gue izin ke toilet dulu," ujar Algaz.
Joe mengangguk santai. "Oke, Al."
"Kok lo nggak nganterin Algaz, sih?" tanyaku, sedikit khawatir jika Algaz akan tersesat nanti. "Emangnya dia tahu letak toiletnya?"
"Oh, itu." Ada jeda di antara kalimat Joe. "Nanti, kan, ada papan tulisan toilet khusus cowok gitu." Lelaki itu membuat bentuk persegi panjang di udara menggunakan jari telunjuk. "Algaz juga pasti tanya orang kalau nyasar, hehe."
Dari gelagat Algaz dan penjelasan Joe, aku seolah menemukan kejanggalan. Curiga yang hadir sekarang membawakan potongan curiga yang muncul beberapa saat yang lalu, ketika kami bertiga sedang berada di All You Can Eat.
"Zra, katanya lo suka pedas?"
"Ezra emang suka pedas, tapi sebenarnya dia nggak kuat makan pedas." Itu suara Algaz. Ia yang menjawab pertanyaanku.
"Nah, bener kata Algaz," sambung Ezra, mengiyakan pernyataannya.
Tiba-tiba Ezra mengambil tteokbokki yang dibuat Algaz, setelah sebelumnya menyerah karena kepedasan. Ia pun kembali makan dan wajahnya memerah lagi dengan cepat. Ezra tampak mengambil beberapa tisu, kemudian memakan makanannya sembari sesekali mengusap keringat yang membanjiri dahinya.
Jawaban yang diberikan Algaz saat itu memang cukup masuk akal. Karena di dunia yang aneh ini, pasti ada segelintir orang yang seperti Ezra. Orang yang suka pedas, tapi tidak kuat makan makanan pedas. Meski begitu, entah kenapa kecurigaanku tak berhenti sampai di situ. Ezra juga sama sekali melupakan alamat studio dance Joe.
"Zra, tapi lo nggak lupa alamatnya, kan? Habisnya gue bonceng lo dan gue juga buta arah kalau disuruh nunjukkin jalan ke sana dari tempat ini," ucapku jujur. Sedikit waswas juga jika kami tersesat bersama.
"Ah, gue juga nggak tahu jalannya kalau dari sini, Sia," respons Ezra. "Al, lo kayaknya lebih tahu jalan di daerah sini."
"Nama studio dance-nya Joe apa?" tanya Algaz. "Mungkin gue tahu."
Tak hanya menyebutkan nama tempat itu, aku juga menjelaskan alamat lengkapnya. Aku harus membuat Algaz memimpin jalan kami dengan benar. Untungnya ia mudah paham dengan penjelasanku. Jadi, kami pun segera berangkat.
Gelagat mereka dan semua prasangka membuat kepalaku berdenyut. Ditambah lagi, Algaz yang terlihat nyaman seolah dirinya sudah khatam dengan tempat ini, juga menambah kecurigaanku. Sebenarnya mereka yang patut dicurigai atau aku yang sedang sensitif saja?
Pikiranku memberitahu bahwa Leondra yang sebenarnya adalah Algaz. Hal itu membuatku gila. Aku pun menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran negatif tersebut. Sementara itu, perasaanku mengatakan bahwa pikiranku salah. Terlalu dramatis jika mulut di pikiran ini ternyata benar. Algaz dan Ezra tak mungkin berbuat sejauh itu.
Aku segera mengeluarkan topi milik Algaz dari tas jinjing, membuat Joe dan Ezra menatapku heran. "Titip topi ini buat Algaz, ya. Bilangin makasih juga. Maaf banget gue harus cepat-cepat pulang soalnya baru ingat harus bantuin bunda ngurus katering."
Tak menunggu jawaban mereka, kakiku sudah membawaku pergi dari sana. Sepertinya aku harus menenangkan diri.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Waduh, hampir aja ketahuan sama Dek Sia. Untungnya dia sempet mikir positif, walaupun sebenernya tetep salah juga hiks. Ini mah namanya Sia yang berpikir positif dengan sia-sia. Peluk cium dulu buat Si Manis ( ˘ ³˘)♡
Jangan lupa pencet bintang 🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
JugendliteraturAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...