⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Menurutmu, apakah membosankan jika duduk sebangku dengan teman satu kamar kos? Jawabanku, iya. Sejak masuk ke sekolah ini, frekuensi perjumpaanku dengan Algaz bisa terbilang dua puluh empat jam. Ketika bangun tidur, aku sudah melihatnya. Pun ketika aku akan tidur, ia juga ada di penglihatanku. Kini, lagi-lagi Algaz menampakkan diri di sampingku, sebagai teman sebangku.
Seharusnya aku tidak perlu mengeluh begini. Hampir dua puluh empat jam yang kami habiskan bersama, membuatku menganggap Algaz sebagai papa kedua, dengan aku yang menjadi putra pembangkangnya. Bahkan, papa asliku menjadi orang nomor sekian yang memiliki intensitas pertemuan paling sering. Ranking satu tentunya ditempati oleh seorang batu bernama Algaz.
Jika kamu bertanya bagaimana kesan awal kami, maka akan aku ceritakan secara singkat. Aku dan Algaz bertemu pertama kali di kelas pada pertengahan tahun 2018. Algaz sangat kaku, lebih-lebih saat tersenyum. Entah apa yang membuatku setuju-setuju saja ketika Algaz menempati tempat duduk di sampingku tanpa izin.
Aku jadi berpikir, mungkin waktu itu aku menganggap Algaz bisa diajak membentuk geng orang tampan, yang pastinya akan menghebohkan seantero sekolah. Namun, alih-alih begitu, Algaz malah tampak tertutup. Ia sangat membatasi kehidupannya dengan orang lain.
Algaz jarang berekspresi. Hingga pada suatu hari, ternyata kami menjadi teman satu kamar kos. Meski hanya seperkian detik, aku berhasil menangkap wajah kagetnya, dan itu menjadi ekspresi wajah kedua Algaz yang aku tahu.
Astaga, aku terlalu banyak bercerita tentang Algaz, hingga lupa menceritakan diriku sendiri.
Namaku Ezra Adyatma. Sebenarnya orang-orang lebih sering memanggilku Zra. Tapi, untuk kebutuhan buku ini, aku mengizinkan kalian untuk memanggilku Ezra. Lagi pula, aku suka namaku.
Kata orang, gen keluargaku bagus. Tak heran jika banyak dari mereka memujiku tampan. Selain itu, aku juga seperti bunglon. Bukan. Aku tidak berwarna-warni. Maksudnya, aku bisa menyebut diriku sebagai orang yang supel karena mudah beradaptasi.
"Zra," panggil temanku yang bernama Rio, yang kebetulan melewati depan kelas.
Aku yang berdiri di daun pintu pun mengajaknya tos. "Oi, kenapa?"
"Ikut gue ke perpus yuk, ambil buku paket," kata Rio.
Bokongnya yang empuk menjadi sasaran tendanganku kali ini. "Lo, kan, kelas sebelah, anjir. Minta tolong sama anak kelas lo lah."
Rio sedikit meringis. "Nggak bisa, Zra. Mereka lagi ngisi jurnal literasi."
"Lo sendiri kenapa nggak buat? Malah mau dibabuin gini," kataku, yang memancing helaan napas panjangnya.
"Kan gue ketua kelas."
Sempat aku ingin menertawakan diri sendiri. "Haha, maaf ya gue lupa. Teman gue banyak soalnya."
Dari raut wajahnya, sepertinya Rio tak tersinggung oleh candaanku. Tanpa berbasa-basi lagi, aku merangkul pundaknya. Yah, begini. Pada akhirnya, aku akan membantu Rio.
Dari kejadian itu, kalian bisa menyimpulkan bahwa aku memiliki banyak relasi. Yah, kalau saja aku seorang visioner dan berambisi, mungkin aku sudah bercita-cita menjadi presiden. Aku akan membangun banyak kerja sama dengan cara memanfaatkan keramahanku. Aku juga akan ... oke, cukup menghayalnya.
Ketika sudah di seperempat jalan, aku berhenti. Astaga, aku lupa membawa ponsel yang aku tinggalkan di meja. Aku pun berlari secepat mungkin, setelah meminta Rio untuk menunggu. Tidak akan aku biarkan jamkosku terbuang sia-sia. Jadi, aku harus menggunakan waktu luangku untuk memanfaatkan wifi di perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Ficção AdolescenteAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...