⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Aku kira, Algaz akan mengajakku ke rumahnya. Ternyata lelaki itu malah memarkirkan motornya di tempat parkir rumah sakit. Perjalanan kami pun tak sebentar. Mungkin membutuhkan waktu sekitar satu jam. Ugh, bokongku panas.
Rasanya cukup canggung ketika aku dan Algaz berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ekspresi lelaki itu sangat dingin. Bahkan, mampu mengalahkan dinginnya lantai rumah sakit yang terpapar ac dari sana-sini. Mata tajam yang hanya menatap lurus ke depan, seakan enggan melirik ke arahku sekali pun. Malah aku yang tak sengaja menabrak seseorang karena terus-terusan melirik ke arahnya. Sial.
Saat Algaz berhenti di salah satu kamar dan membuka pintu, aku menghela napas. Terkadang aku memiliki kekhawatiran lebih ketika akan bertemu orang baru. Aku terlalu gelisah memikirkan penilaian orang terhadapku. Memang sangat sulit menghilangkan pemikiran buruk. Semoga saja kedatanganku kali ini disambut dengan baik.
"Akhirnya datang juga," ucap seseorang yang sedang berbaring di ranjang. "Loh, Al, itu siapa?"
Badanku membeku sesaat setelah mendengarnya. Aku tak berani mendekat, apalagi mengangkat kepalaku. Sempat melirik-lirik dengan ragu, aku pun mendapati Algaz yang menoleh ke arahku barang sejenak.
"Oleh-oleh dari sekolah," kata Algaz.
Aku segera mendongak untuk menatapnya. Tentu aku tak terima. "Apa? Oleh-oleh?!"
Setelah berteriak demikian, aku langsung melihat sekitar. Saat itu, aku sontak menyadari bahwa ada seorang gadis yang duduk di ranjang sembari tertawa kecil. Algaz sendiri malah tersenyum miring, seolah menertawakan responsku yang bodoh.
Dengan cepat, aku menunduk. "Maaf."
Tanpa berkata apa pun, Algaz mendekati gadis itu dan menggerakkan tangannya sebagai perintah agar aku ikut mendekat. "Dia teman gue yang bakal gantiin photoshoot lo, Neth."
Aku membelalakkan mata. "Photoshoot? Gila lo?" Persetan dengan penilaian orang lain terhadapku, tapi Algaz sudah keterlaluan karena memutuskan sesuatu tanpa berunding dulu denganku. Ditambah lagi, photoshoot merupakan bidang yang asing bagiku. Membayangkannya saja tidak pernah.
Tiba-tiba nada dering telepon menggema ke seluruh ruangan. Algaz langsung merogoh saku celananya dan menoleh ke arahku. "Lo ngobrol dulu aja sama Anneth." ujarnya, lalu menghilang di balik pintu.
Aku tersenyum canggung dan duduk di dekatnya. Kira-kira siapa gadis yang dekat dengan Algaz ini? Apakah sepupu? Kakak? Atau ... pacar? Semua kemungkinan itu menjadi semakin mungkin ketika aku memikirkannya terlalu dalam.
"Gue Anneth, saudara kembarnya Algaz," jelasnya secara mendadak, seakan mengerti isi pikiranku. Mungkin karena Anneth melihatku yang sesekali menatapnya. Mengetahui fakta bahwa gadis ini adalah saudara kembar Algaz, entah mengapa aku merasa lega.
"Oh, salam kenal!" Aku menjabat tangannya dengan antusias. "Gue Asia, tapi panggil Sia aja gapapa kok."
Sekali lagi, Anneth tersenyum. "Sia, lo udah dengar, kan, tadi kalau lo bakal jadi pengganti photoshoot? Gue rasa lo cocok kok buat temanya nanti," katanya. "Algaz pintar juga cari yang bening."
"Ya?" Sedikit terkesiap ketika aku mendengarnya.
"Seperti yang lo lihat, sekarang gue cuma bisa istirahat di sini sampai pulih. Tapi gue nggak menjamin bisa ikut photoshoot itu karena biasanya butuh waktu berhari-hari biar gue bisa beraktivitas seperti biasa." Anneth menatapku sejenak, kemudian menunduk. "Gue cerita begini bukan untuk dikasihani, tapi cuma mau minta pertolongan lo buat sehari aja. Lo mau, kan, Sia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...