⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
👤 Andromeda
Leondra, makan bareng di kantin yuk? Aku juga bawa kue dari rumah nih. Mau nggak?
Pesan dari Sia membuatku mengembuskan napas panjang. Aku melirik Ezra yang sedang tidur berbantal lengan. Di spotlight, Sia masih memanggilku Leondra. Namun, jarang sekali Sia memanggil nama asliku. Leondra yang Sia kenal adalah Ezra Adyatma.
"Zra, lo diajak Sia ke kantin. Dia juga bawa kue dari rumah," kataku, memberikan detail pesan setiap Ezra akan menjalankan tugasnya.
Tak seperti biasanya, Ezra bangun dengan cepat. Seolah-olah mendengar nama Sia langsung mengaktifkan sel-sel otaknya. Lihat, sekarang ia bahkan sudah berdiri sambil mengulurkan tangan.
"Hp lo," pintanya. "Kita tukar hp biar Sia nggak curiga."
Aku menatapnya heran. "Kenapa harus gitu?"
Mendengar pertanyaanku, Ezra menarik tangannya kembali. "Sia itu jeli, Al. Yah, walaupun hp kita sama, bisa aja dia lihat notifikasi hp kita yang beda. Dia ngira gue Leondra, kan, juga dari notifikasi yang muncul di hp lo."
Pada akhirnya, aku pasrah dan menyerahkan ponselku pada Ezra. Ditambah lagi, berdebat dengan Ezra tak akan berakhir damai jika aku tidak mengalah. Meski bisa mengelak, aku hanya berpikir agar Sia tidak terlalu lama menunggu 'Leondra'.
"Nah, gitu dong," ujar Ezra.
Awalnya Ezra memang tidak setuju untuk menjadi seorang Leondra. Berbeda seratus delapan puluh derajat, sekarang aku merasa jika Ezra sudah mulai menikmati perannya. Terlihat sangat jelas, apalagi gestur yang ia perlihatkan ketika mendengar nama Sia maupun sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu.
Hanya diam, bukanlah gayaku ketika aku sedang dihantui rasa penasaran. Aku mengikuti Ezra yang pergi menemui Sia di kantin sekolah. Entah mengapa, tempat itu terlihat sedikit lengang, membuatku sedikit kesal. Jika boleh berharap, aku ingin Tuhan mengirimkan burung ababil untuk mengganggu mereka.
Setelah makanan terhidang di meja, terutama kue yang Sia bawa, wajah gadis itu seketika bersinar. Lantas, Sia mengatakan sesuatu yang membuat Ezra mengeluarkan ponselku dari saku bajunya. Tentu saja aku tidak bisa mendengar mereka karena jarak kami yang terlampau jauh.
Saat dipikir lagi, ucapan Ezra ada benarnya. Untungnya kami menukar ponsel. Jika tak melakukannya, aku tidak tahu bagaimana akhirnya. Namun, aku tetap pada pendirian. Aku masih kesal.
Sia memotret makanan dengan ponselku. Gadis itu sampai berdiri, memastikan jika foto yang diambil berkualitas baik. Selesai memotret, Sia mengembalikkan ponsel kepada Ezra. Mereka tak banyak bicara, karena Sia sibuk menikmati potongan kuenya. Sesekali Ezra minta disuapi, tapi Sia hanya mengeluarkan sendok baru agar lelaki itu memakannya sendiri.
Makan itu sendok!
"Ngelihatin apa, sih? Seru banget kayaknya." Tiba-tiba Joe berdiri di sampingku. Posisinya sangat memungkinkan untuk mereka melihat Joe. Maka dari itu, aku menarik badannya agar ikut bersembunyi di balik tembok.
"Gue ngikutin Sia sama Ezra," jawabku, yang sesekali masih setia mengintip kegiatan mereka.
Joe tersenyum mengejek. "O, ow, ada apa nih? Apakah sudah tumbuh benih-benih cinta? Aw!" jeritnya ketika aku mencubit perutnya. Hadiah yang pantas untuk orang seperti Joe.
"Selain batu, lo juga atlit cubit, ya? Mending lo kasih saran buat video baru gue. Masih anget, baru selesai kemarin sore."
"Video apa?" tanyaku, tak fokus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...