⚠️️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Aku tidak terlalu dekat dengan anak kelas. Lebih baik aku membaca buku yang baru saja kupinjam dari perpustakaan. Buku ini cukup menarik, meskipun sampulnya sangat sederhana. Sampul buku itu berwarna cokelat muda dengan garis sekali tarik yang membentuk gambar setangkai bunga tulip. Tercetak tulisan tipis "Love Sign" sebagai judul buku itu. Dilihat dari kondisinya, bisa ditebak, buku yang akan kubaca ini berusia cukup tua. Bukunya berbau menyengat, tetapi tak ada satu pun lipatan beserta bekasnya. Pertanda buku ini jarang dibaca.
Jangan salah. Tulisan yang termuat di dalamnya sanggup membuatku terhanyut. Sekali membukanya, aku terhipnotis. Sampai-sampai tak menyadari bahwa aku sudah menghabiskan setengah dari buku itu. Isinya sangat menakjubkan.
Dalam hati, aku berniat menamatkan satu bab terlebih dulu, sebelum menutup buku untuk dibaca nanti. Jemariku membuka halaman selanjutnya. Mataku menelusuri setiap kata. Membacanya dengan fokus, hingga merasa bahwa di ruangan ini hanya ada aku dan buku itu.
"Apabila seseorang sedang tertawa, lalu mengalihkan pandangannya padamu, maka, besar kemungkinan orang tersebut sedang menyembunyikan perasaan." Tak sadar aku telah menggumamkan kalimat itu. Begitu menyadarinya, aku tertegun. Memangnya benar? Tapi, sejak awal membaca buku tersebut, kalimatnya seolah ditulis tanpa keraguan.
Belum selesai menamatkan satu bab, tiba-tiba sang ketua kelas bernama Gery berdiri di samping meja guru. Lelaki itu memerintahkan anak kelas agar mendengarkan apa yang akan ia katakan.
"Diam ya, diam," perintahnya. "Tadi gue dapat pemberitahuan dari OSIS nih. Katanya, buat memperingati hari olahraga nasional, harus ada tiga perwakilan kelas yang nanti bakal bantu ngurus acaranya. Ada yang mau? Nanti gue temenin."
Seperti yang sudah-sudah, anak kelas tidak ada yang mengajukan diri. Aku sudah hafal sekali. Sehabis ini, Gery pasti akan menunjuk seseorang yang menarik perhatiannya.
"Kayak biasa ya, kalau nggak ada yang mau, berarti gue yang tunjuk," kata Gery.
Ucapanku benar, kan?
Tanpa diduga, Joe mengangkat tangannya sebelum Gery memutuskan siapakah yang akan menjadi perwakilan kelas. Tumben sekali lelaki itu. Kesurupan makhluk apa hari ini?
Setelah mengangkat tangan, mendadak Joe menjatuhkan tangannya di pundakku. Aku melirik wajah dan tangannya secara bergantian. Semoga saja Joe tidak mengatakan sesuatu yang ada di pikiranku. Sebuah pikiran negatif.
"Ger, gue sama Sia, ya," ucap Joe tanpa beban. Aku yang mendengarnya segera menatap lelaki itu, tak terima.
"Jangan bercanda, Joe," peringatku dengan suara tertahan. Tidak ingin sekali pun menjadi pusat perhatian.
Hidupku layaknya sebuah kekalahan. Belum sempat melemparkan protes dua kali, Gery sudah mengajak aku dan Joe untuk mengikuti rapat setelah istirahat pertama. Berhubung sebentar lagi bel masuk berbunyi, Gery mengajak kami untuk membuat surat dispensasi. Meski terdengar merepotkan, kami sudah mengurusnya dengan cepat berkat sang ketua kelas.
"Kenapa lo tiba-tiba pengin jadi panitia sih? Bukan lo banget," cibirku saat kami sedang berjalan menuju aula. "Terus, biar apa lo ngajak gue? Lo, kan, tahu sendiri gue gimana."
Aku mengatakannya saat Gery berjalan di depanku. Aku dan Joe hanya mengikutinya dari belakang seperti anak ayam. Maka dari itu, ia tidak bisa mendengar percakapan kami, kecuali jika Gery berniat untuk menguping.
Joe sempat melirik Gery, sebelum akhirnya menoleh ke arahku. "Gue tahu kalau lo albinisme. Lo nggak bisa panas-panasan dan nggak mau bergaul. Tapi, Sia, sekarang udah masuk mapel sejarah. Gue tahu, lo belum ngerangkum tugasnya Pak Fajar, kan? Sama kok. Makanya gue ikut ini biar bisa kabur."
"O, iya, ya. Ya ampun, gue lupa." Mendengar niat Joe yang 'mulia', aku menjadi bersyukur. Namun, kala itu, aku juga mengerutkan dahi. "Btw, kok lo tahu gue belum ngerjain?"
Ditatap curiga begitu, membuat Joe menggaruk tengkuknya. "Tadinya gue mau nyontek, tapi ternyata lo belum ngerjain juga."
"Dasar, Panjul."
🖍️🖍️🖍️
Pukul sebelas, rapat baru selesai. Anak-anak di sini belum beranjak dari posisi mereka. Tetap seperti tadi, melingkar sembari duduk bersila. Aku sendiri belum ingin pergi, karena ada Ezra di sana. Tak hanya itu, ada Algaz yang duduk di sampingnya pula. Ini, sih, rapat serasa cuci mata.
"Eh, kemarin sore gue lihat ada yang ciuman di toilet cowok. Gila, berani banget," ungkap Erik yang langsung memancing perhatian. Untung saja rapat sudah selesai. Tapi, kan, belum ditutup secara resmi oleh ketua OSIS.
"Siapa tuh?" tanya Ezra.
Mengikuti rapat ini, membuatku lebih mengetahui bagaimana cara Ezra berinteraksi dengan orang lain. Ia sangat berbanding terbalik denganku yang menutup diri. Ya, meskipun bisa, aku tetap tak mau mendapatkan relasi terlalu banyak. Mungkin aku lebih mirip Algaz? Namun, ia versi diriku yang lebih terlihat berwibawa di situasi yang mengharuskannya untuk serius.
Tunggu. Kenapa aku salah fokus pada lelaki itu?
Erik melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang masuk. "Gue nggak tahu namanya, sih. Tapi, gue ingat muka mereka. Yang cewek kayaknya sering mejeng di sekolah."
Anak kelas lain ikut menimpali. "Kalau yang cowok?"
Erik mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Yang pasti, lebih gantengan gue. Iya, kan, Sia?"
Aku terkesiap saat Erik menyertakan namaku pada kalimatnya. Aku tahu, ia hanya bercanda. Candaannya yang mendadak itu membuatku bingung harus memberi respons apa. Huft, beginilah efek jika terlalu lama membatasi diri.
"Kayaknya sih iya," jawabku sekenanya.
Sontak semua yang ada di sana membuat suasana semakin riuh. Tak sedikit juga yang menggodaku dan Erik. Lebih-lebih saat Erik memegang dada kirinya dengan dramatis. "Duh, Sia. Lo cantik banget sih. Sering-sering bergaul dong, soalnya lo jarang kelihatan."
Joe yang duduk di sampingku langsung menyela. "Lo jangan mau dekat-dekat sama bebek pecel lele itu. Kalau lagi gabut, dia suka ngajakin ngebegal orang."
Tertawa karena candaan renyah Joe bukanlah sesuatu yang tak biasa. Semua orang merasa akrab dengannya. Maka dari itu, aula yang tadinya sepi langsung hidup karena tawa kami.
Diam-diam aku melirik Ezra. Lelaki itu juga sedang tertawa sembari memukuli paha Erik. Entah bisikan dari mana, aku justru mengalihkan pandangan pada Algaz. Aku sedikit terkejut saat melihatnya mencuri pandang ke arahku.
Apabila seseorang sedang tertawa, lalu mengalihkan pandangannya padamu, maka, besar kemungkinan orang tersebut sedang menyembunyikan perasaan.
Kalimat yang sempat kubaca di buku Love Sign kembali memenuhi kepalaku. Menyadari hal itu, senyumanku berganti menjadi lipatan di dahi. Aku hanya merasa heran.
"Eh, Joe, lo jangan fitnah-fitnah gue. Emangnya lo medsos?" protes Erik saat tawa kami mulai mereda.
Joe mencibir. "Lah, kemarin malam gue nonton lo di acara delapan enam. Lo pasti yang ditilang polisi gara-gara pakai helm, tapi motornya ketinggalan di rumah. Habis itu lo mau ngebegal orang, kan?"
Candaan Joe kembali berbalas tawa. Namun, kali ini aku memanfaatkan situasi untuk mengamati Ezra dan Algaz. Di antara keduanya, lagi-lagi hanya Algaz yang menoleh ke arahku, meski hanya seperkian detik karena tertangkap basah. Sesaat setelah mata kami bertemu, Algaz langsung memasang ekspresi datar.
Kali ini aku harus menyalahkan siapa? Buku itu, prasangkaku, atau Algaz?
❁╺╼╼╼╼ ❁
Hi, kenapa jam segini belum tidur? O, iya, kan tim overthinker aowkaowk.
Lagi (sok) padett jadwalnya dan sekarang lagi uts. Itu juga minggu depan masih nyisa uts-nyaa (。♡‿♡。)
Semangat terus kalian! Jangan lupa makan, karena rebahan juga butuh energi.
Jangan lupa pencet bintang 🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Fiksi RemajaAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...