⚠️ Baca perlahan dan perhatikan sudut pandang yang digunakan.
❁╺╼╼╼╼ ❁
Sepertinya aku kesurupan. Tidak seperti biasa aku sudah berada di sekolah sepagi ini. Terdengar hampir mustahil, tetapi memang nyata. Buktinya, Joe, sahabat karib yang pernah kuceritakan, sudah menarik tanganku ke pojok kelas.
"Sia! Sia! Gue mau ngenalin kucing baru. Namanya Unyil," ujar Joe, tidak malu sedikit pun dengan tubuhnya yang atletis, hasil rutinnya berlatih dance.
Aku memandangi anak kucing berwarna abu-abu yang sedang tidur di kandang berukuran sedang. "Astaga, Joe. Kucing liar mana lagi yang lo adopsi?"
"Kucing yang biasa main ke studio dance." Joe mengetuk-ngetuk kandang itu, tampak gemas dengan Unyil yang sedang tidur sembari mendengkur. "Lo tahu? Jam enam tadi gue udah di sekolah sambil bawa Unyil."
Mataku melotot. "Gila. Lagian lo mau ngapain sampai bawa anak kucing ke sekolah? Biar kucingnya jadi jenius? Kalah dong lo nanti."
"Enak aja," protes Joe, "gue mau nempatin kucingnya di kantin, biar dia bisa makan di sana."
Aku memutar bola mata. "Dih, bapak kucing nggak modal."
Joe terlihat mencebikkan bibirnya setelah mendengar ejekanku. "Itu namanya merawat dengan cerdas untuk menghindari pemborosan."
"Bilang aja pelit."
"Lo, kan, tahu sendiri uang saku gue nggak banyak. Cuma lima puluh ribu sehari," ucap Joe.
Aku mendecih. "Merendah untuk meninggoy ya." Joe hanya tertawa ketika mendengarnya.
"Ya udah, gue mau taruh kucingnya di kantin dulu," katanya. "Doain semoga dia nggak hilang ya."
"Lo aja yang hilang," candaku. Lagi-lagi Joe menunjukkan tawa lebarnya.
Setelah kepergian Joe yang tampak terburu-buru, aku memutuskan untuk duduk di kursiku, lalu mengecek ponsel. Senyumku merekah ketika mendapati pesan dari Leondra, lelaki yang sering aku pikirkan belakangan ini.
👤 Leondra
Kalau ada masalah, jadiin aku tempat sampahmu ya?
Tempat sampah, konon. Aku rasa, sebutan itu kurang cocok untuk orang sepertinya. Dengan segala perhatian yang Leondra tunjukkan selama aku mengenalnya, ia lebih pantas disebut sebagai rumah. Ke mana pun aku pergi, ke mana pun aku melangkah, yang tentu diikuti berbagai masalah, rumah akan selalu menjadi tempat kembali. Ia menyerap beban pikiran, menjelma sebagai tempat istirahat bagi jiwa dan raga.
👤 Andromeda
Kenapa tempat sampah?
👤 Leondra
Soalnya aku bakal menampung semua sampah pikiran kamu. Cringe ya?
Sialan. Joe malah masuk ke kelas dengan santainya. Aku, kan, jadi tidak bisa membalas pesan Leondra. Namun, kedatangan lelaki itu malah menumbuhkan ide. Ide tersebut membuatku memutuskan untuk bertanya kepada Joe, lelaki lemot yang kini sudah duduk di depanku.
"Joe, joe," panggilku antusias.
Joe mengangkat alisnya. "Kenapa, Sayang?"
Aku tidak kaget saat mendengar Joe memanggilku begitu. Tentu saja karena kami sudah berteman sejak lama, bahkan pernah berlomba merangkak sewaktu bayi. "Lo masih main spotlight?"
"Udah gue uninstall sejak seminggu yang lalu sebenarnya, soalnya memori gue mau meledak," ungkapnya, berlebihan. "Kenapa?"
"Nggak sih. Gue cuma pengin tanya tentang seseorang. Siapa tahu lo kenal," kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is a Box of Crayons
Teen FictionAsia Dea Bestari tak dapat mengungkapkan warna yang mendeskripsikannya. Menurut Sia, hanya mata cokelat muda yang menjadi warna aksennya. Selain itu? Pucat. Hal itu membuat Sia hampa. Seakan ia tak menemukan warna lain yang cocok untuk dirinya sendi...