Di sore yang agak mendung ini, Mikhail Ezra Yudantha menarik perhatian banyak orang—terutama para mahasiswi—karena kehadirannya di gedung Teknik Mesin. Selain karena Ezra memang tergolong mahasiswa populer berkat tampang dan nama Meraki, ia juga menjadi pusat perhatian banyak orang karena buat apa anak jurusan Seni Musik tiba-tiba nyasar di Teknik Mesin seperti ini?
Untung saja Ezra punya kenalan yang tumpah-ruah di Teknik Mesin, jadi dia nggak seperti anak hilang di antara kerumunan manusia yang berlalu-lalang di sekitar area gedung. Ezra sesekali mengangkat tangan untuk menyapa orang-orang yang mengenalnya dengan satu tangan yang lain sedang memegang ponsel yang menempel di telinganya, mencoba menghubungi seseorang yang sejak tadi mengabaikan panggilannya.
Ezra rencananya pengen nebeng ke Dirga karena hari ini dia nggak membawa mobil. Malas saja. Dan tentu Dirga nggak akan sebaik hati itu untuk pergi ke gedung Seni Musik hanya untuk menjemput Ezra. Makanya itu, Ezra yang jauh-jauh menghampirinya ke sini dengan menebeng pada temannya yang tadi akan menjemput pacarnya yang juga anak Teknik Mesin.
Ezra berdecak ketika lagi-lagi panggilannya dialihkan ke pesan suara. Ini salah dia juga sih, seharusnya tadi ia menelpon Dirga dulu untuk memastikan sebelum ke sini. Tapi masalahnya Ezra yakin banget kalau Dirga belum pulang soalnya di hari senin ini, kelas keduanya berakhir di jam yang sama.
Tepat ketika Ezra akan menghubungi Dirga sekali lagi, matanya menangkap Julian, salah satu teman kelas Dirga yang lumayan dekat juga dengannya dan sering nongkrong bareng. "Oi, Panjul!"
Julian mengumpat kesal mendengar Ezra yang dengan seenak jidat mengganti namanya, tapi tetap disamperin juga. "Julian, sat."
"Julian mah kecakepan untuk muka lo yang pas-pasan ini."
"Lo tau anjing? Nah, itu elo, Ja."
"Hanya anjing yang bisa berbicara dengan anjing, Panjul."
Sekali lagi, Julian mengumpat. "Ngapain lo gentayangan di Mesin sore-sore begini?"
"Kangen ayangbeb gue. Liat Dirga nggak?"
"Ayangbeb lo absen 2 kelas hari ini. Gue kira dia abis mabok makanya nggak masuk."
"Eh, seriusan lo?"
"Iye, anjir. Nama gue Julian Nugraha, bukan Julian Halilintar. Jadi nggak ada yang ngeprank lo di sini."
Ezra mengernyit. Pasalnya, ia kelewat mengenal Dirga. Sebrengsek-brengseknya cowok itu, cabut dari kelas bukanlah salah satu jenis kenakalan yang akan ia lakukan. Sepertinya yang tadi Julian katakan, Satu-satunya alasan kenapa Dirga nggak masuk kuliah—selain sakit, karena cowok itu jarang banget sakit. Virus saja takut dengannya—adalah wasted. Tapi semalam Ezra tahu Dirga nggak ke kelab malam, bahkan justru sedang menyambangi pujaan hatinya.
"Lah?"
"Lah?" Julian ikutan.
"Dia di mana, dong?"
"Mana gue tau, monyet!"
"Ya santai, monyet!"
"Halah, monyet."
"Elo monyet."
Ketika Julian akhirnya berlalu peri, Ezra masih diam di tempatnya sambil berpikir keras untuk menebak alasan Dirga tidak datang ke kampus hari ini sekaligus berpikir siapa yang bisa dia tebengi sekarang ketika suatu kesadaran menghantamnya dengan keras.
"Anjing." Ezra memaki pelan. Bagaimana bisa dirinya lupa soal ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...