Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya di beberapa minggu terakhir, Meraki tampil di panggung kecil Lagom yang memang menyediakan live music bagi pelanggannya yang datang dari pukul 7 hingga 10 malam.
Anak-anak Meraki sudah datang empat puluh lima menit lebih awal. Keempat cowok itu duduk di meja paling sudut sembari menunggu, sebelum dua puluh menit kemudian, Yago dan Jagad meninggalkan meja untuk menghampiri anak-anak Candramawa yang datang untuk menonton.
Dirga menyulut rokok keduanya malam ini dengan korek api, sementara Ezra yang duduk di hadapannya duduk dengan tenang—hal yang sangat langka dilakukan oleh seorang Mikhail Ezra Yudantha—sambil bermain game di ponsel.
Seraya menghembuskan asap rokoknya, mata Dirga tak berhenti memperhatikan sesosok gadis yang duduk di meja anak-anak Candramawa. Dirga terus menelisik semua gerak-gerik gadis itu—caranya berbicara, caranya mengernyit, caranya memotong cheese cake yang ia pesan, caranya merapikan rambut, hingga caranya menarik kedua sudut bibirnya ke atas saat mendengar atau melihat sesuatu yang menyenangkan.
Senyum hangat yang tak pernah gagal membuat sebentuk rasa tenang merayapi rongga dada Dirga.
Di detik selanjutnya, tawa gadis itu pecah, tampaknya karena lelucon yang dilemparkan oleh gadis bermata sipit di sebelahnya. Gadis itu memiliki tawa yang menyenangkan. Jenis tawa yang membuat orang lain bisa ikut tertawa saat mendengarnya. Kedua matanya jadi berbentuk seperti bulan sabit saat gelaknya lepas, membuat gadis itu terlihat begitu lembut sekaligus polos.
Dan hanya dengan melihat gelak tawa itu, Dirga harus membuang muka dan menunduk, menahan senyum yang mendesak hadir di wajahnya.
Ezra yang duduk di depannya jadi mengangkat wajah, mengabaikan game yang sedang ia mainkan begitu saja kala menemukan sahabatnya itu sedang tersenyum samar diam-diam.
"Man... Lo sehat?" Ezra memasang wajah khawatir yang super dramatis seakan Dirga baru saja kejang-kejang di hadapannya.
Pemuda jangkung itu lantas berbalik, penasaran dengan apa yang membuat Dirga jadi seperti kehilangan kewarasan begitu. Dan ketika matanya menangkap sesosok gadis yang tengah duduk di meja yang sama dengan dua bungsu dari band mereka, ia langsung berdecih. "Ya elah, saaattt... Nggak capek lo menghamba diem-diem begini???"
"Urusin kisah cinta lo yang menyedihkan itu. Nggak usah urusin gue."
"Itu rahang kelewat enteng, ya!!!" Ezra langsung nyolot. "Heh, nyet, mana doi tau kalau lo diem-diem doang kayak gini? Lo pikir dia Roy Kiyoshi?!"
Dirga tidak lagi menyahuti celotehan Ezra. Pemuda itu lanjut melakukan apa yang tadi ia lakukan—Ah, lebih tepatnya, apa yang selalu ia lakukan setiap kali berada di dalam ruangan yang sama dengan gadis itu.
Namanya Jennar Rinjani Kusuma. Dan sudah hampir dua tahun terakhir ini, ia menjadi angan dalam diam seorang Janaka Dias Dirgantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...