Malam ini, Meraki tampil di sebuah acara ulang tahun salah satu kampus negeri. Tak seperti biasa di mana mereka akan datang bersama, kali ini Ezra datang 15 menit lebih lambat karena ada urusan di kampus yang harus ia selesaikan. Ketika ia masuk ke dalam tenda tempat para pengisi acara menunggu, ia hanya menemukan Jagad dan Yago yang sedang ngobrol dengan band lain yang juga menjadi GS tanpa melihat kehadiran Dirga.
Ezra menyapa para anggota band itu singkat sebelum berpaling pada dua bungsu Meraki. "Oi, Dirga udah dateng, kan?"
Yago mengangguk. "Tapi tadi keluar lagi. Nyebat kayaknya."
Sesuatu terasa salah membuat Ezra menyimpan gitarnya sebelum beranjak keluar dari tenda. Matanya menyisir sekeliling sambil terus berjalan, hingga akhirnya ia menemukan sang drummer Meraki sedang duduk sendirian di dinding semen rendah yang mengitari sebuah pohon besar. Sebatang rokok terselip di celah bibirnya. Matanya memandang ke arah panggung yang cukup jauh dari tempatnya duduk, namun Ezra tak benar-benar yakin pemuda itu benar-benar sedang menontonnya. Beberapa orang yang sedang berada di stand makanan di area sekitar mencuri-curi pandang ke arah Dirga, mungkin karena tampangnya yang memang selalu berhasil menyita perhatian atau karena mengenalnya sebagai salah satu anggota dari band yang akan tampil nanti.
Namun entah mana pun alasan yang benar, tak ada seorang pun yang bernyali mendekatinya. Pemuda itu memang selalu terlihat dingin, namun malam ini ia terlihat berbeda. Ada mendung yang memeluknya. Kalau Ezra tidak cukup mengenalnya pun, Ezra rasa ia akan berpikir dua kali untuk mengambil langkah mendekat seperti sekarang.
"Tampang lo ngalahin muka Boy abis diputusin Reva." Ezra berceletuk asal sebelum duduk di samping Dirga. Dirga tidak menoleh sama sekali, masih memandang lurus ke arah panggung di ujung sana.
"Tadi gue ketemu Egi di depan, dia dateng bareng temennya, Lisa kalau nggak salah namanya. Cakep juga anaknya." Ezra sudah terlalu mengenal Dirga untuk tahu cowok itu masih mendengarkannya meski tidak ada respon yang diberikan sama sekali. "Gue tanya, Jani datang apa enggak. Katanya sih enggak, soalnya mau bantuin Esa bikin maket. Tuh, baik kan gue mau menggali info untuk lo. Gue nih berguna jadi temen, nggak kayak lo. Bisanya ngehina gue doang."
Raut wajah Dirga berubah begitu Ezra meloloskan nama Jani dari mulutnya. Rahangnya mengeras saat ia membiarkan asap rokok terhembus dari bibirnya, berbaur dengan udara malam, lalu hilang. Dan bukan tanpa alasan Ezra menyembut nama Jani barusan. Ia ingin memastikan apakah dugaannya benar. Dan dari reaksi Dirga barusan, Ezra sudah bisa menarik kesimpulan dari perubahan sikap Dirga malam ini.
"Lo kenapa sama Jani?"
Dirga terlihat terlalu tenang. Terlalu tenang hingga Ezra tahu bahwa sebenarnya ada gemuruh yang menari di dalam dirinya.
Cukup lama Dirga membiarkan pertanyaan Ezra menggantung tanpa memiliki jawabannya hingga Ezra sempat mengira pemuda itu memang tak akan mengatakan apa-apa.
"Gue sayang dia." Adalah kalimat pertama yang Dirga katakan pada Ezra malam ini.
"Orang buta juga tau."
"I don't want anybody else but her." Ezra tidak ingat jika ia pernah melihat Dirga sehilang harapan ini. "Fuck it, gue bisa kasih semua yang gue punya kalau itu bisa bikin dia bahagia."
Dirga kembali membawa batang rokoknya ke celah bibir sebelum disusul oleh hembusan asap. Ezra diam-diam menarik kembali apa yang ia pikirkan sebelumnya. Dirga sama sekali tidak terlihat tenang. Ada kekacauan di matanya, perasaan-perasaan yang berlomba untuk menunjukkan rupanya. Yang paling kelihatan adalah marah, kecewa, dan bingung.
"You know, she reminds me of something. Her touch, her smile, her words."
"Nyokap lo?" Ezra memberikan tebakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...