Bagi Janaka Dias Dirgantara, Jennar Rinjani Kusuma adalah sesuatu yang terlalu besar untuk bisa ia genggam.
Jani punya banyak kata 'terlalu' yang ia miliki di dalam dirinya hingga membuat Dirga merasa tidak yakin apa gadis itu ingin ia raih. Dia terlalu indah. Terlalu hebat. Terlalu baik.
Bahkan meskipun Jani telah memperbolehkannya mengambil satu langkah pertama untuk mendekati gadis itu, Dirga tahu ia belum bisa sepenuhnya berbangga diri. Karena bagaimana jika nanti ia ingin mengambil satu langkah lagi? Satu langkah yang lebih pasti, lebih lebar, lebih dekat. Apa Jani masih tetap memperbolehkannya? Apa gadis itu tidak akan mundur, bahkan berbalik dan pergi menjauh?
Namun setidaknya untuk sekarang, Dirga ingin mengesampingkan semua pikiran-pikiran itu. Ia ingin menikmati setiap detik yang sekarang sudah bisa ia bagi bersama dengan Jani, tidak seperti dulu di mana ia hanya bisa menikmati detik-detik itu dengan menatap Jani dari kejauhan.
Sekarang, setidaknya, gadis itu berada di dekatnya, meskipun belum benar-benar berada di sampingnya.
Salah satu momen yang bisa Dirga bagi dengan Jani adalah obrolan menjelang tengah malam mereka, di mana keduanya akan berbagi cerita tentang apa yang terjadi sepanjang hari ini. Di beberapa malam, topiknya terkadang lebih dalam. Tentang ketakutan, tentang kegelisahan, tentang apa yang sedang mengusik kepala mereka tanpa siapa pun tahu.
Apapun itu, selama dengan Jani, Dirga menyukainya.
Caranya berbicara dan tertawa—Dirga hampir tak bisa menggambarkannya. Her voice is so soothing. Dirga bisa mendengarkan gadis itu berbicara sepanjang hari dan akan tetap menyukai suara gadis itu tanpa bosan.
Seperti malam ini di studio, saat sepuluh menit sudah berlalu hanya dengan Dirga yang menatap pada kertas penuh coretan di hadapannya tanpa ada tulisan baru, ia memutuskan untuk menghubungi Jani.
"Oh, belum tidur ternyata."
"Kan biasanya juga belum."
Hening sebentar. Dirga ingin tahu apa yang sedang gadis itu pikirkan di ujung sana.
"Jan."
"Hm?"
"Rinjani."
"Ini lo lagi ngabisin telepon gratisan apa gimana?"
Dirga tahu ia sudah terlampau sering mengatakan ini, but damn it, she's really cute. Anything she does makes him down on his knees for her.
"Mau denger lo ngomel doang. Ngomong lagi, dong."
"CIH." Dirga tersenyum, menikmati setiap detik di mana suara Jani menyapa telinganya. "Lagi di studio, ya?"
"Hmm. Lagi stuck sama lirik makanya nelpon lo."
"Hubungannya?" Gadis itu terdengar heran.
"Mau cari inspirasi, sih, rencananya. Tapi kayaknya nggak dapet, deh. Nggak mungkin kan, gue nulis omelan lo di lagu gue."
"Mulut lo, ya."
Entah sudah berapa hinaan yang keluar dari mulut Ezra jika ia berada di sini dan menyaksikan seorang Janaka Dias Dirgantara tak bisa berhenti tersenyum hanya karena suara seseorang.
"Lo kenapa belum tidur?"
Ada senyap sebelum Jani menjawab, "Lagi nggak bisa tidur aja."
Seketika, Dirga tahu ada sesuatu yang salah.
"Jan."
"Hm?"
"Lagi ada masalah, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...