Pagi-pagi buta, Ezra yang masih molor di kasurnya sudah dibangunkan dengan sangat tidak manusiawi oleh Dirga hanya untuk jogging, padahal Ezra yakin sudah lama sekali sejak terakhir kali dia melihat drummer Meraki itu jogging. Dengan kesadaran yang bahkan tidak terkumpul seperempat pun, Ezra memilih menurut daripada Meraki harus kehilangan gitaris mereka.
"Udah dibangunin macam jaman romusha, tekor pula sekarang." Ezra mengomel sambil membawa dua botol minuman isotonik dari dalam supermarket sebelum ikut duduk bersama Dirga di meja kecil yang disediakan supermarket di halaman depan mereka.
"Lo ngapain sih, nyet, tiba-tiba jogging begini? Udah melihat tanda-tanda ajal lo jadi pengen sehat?"
Dirga menyahut santai dengan berkata, "Iseng aja."
Ezra sontak saja mengeluarkan daftar kebun binatangnya, tanpa tahu kalau alasan Dirga sebenarnya adalah untuk memastikan keadaan Ezra mengingat semenjak perpisahan pemuda itu dengan Echa, jiwa Ezra seakan tidak lagi bersatu dengan raganya. Mikhail Ezra Yudantha yang dulu hanya menggunakan apartemen sebagai tempat persinggahannya mengingat betapa seringnya pemuda itu berada di luar kini hanya akan meninggalkan apartemen untuk kuliah dan Meraki. Di beberapa malam, ia akan kehilangan kesadaran di kelab yang membuat Dirga harus datang untuk menjemputnya pulang. Selebihnya pemuda itu akan berada di apartemennya hingga Dirga harus datang lebih sering untuk memeriksa apakah nyawanya masih berada di tempat yang seharusnya atau tidak.
Beberapa saat kemudian, sebuah motor memasuki parkiran supermarket. Hanya dengan melihat sekilas saja Ezra sudah bisa menebak kalau yang duduk di atas motor itu adalah seorang ayah dan ibu bersama anak laki-lakinya yang masih balita. Tanpa sadar, Ezra memerhatikan keluarga kecil itu hingga mereka tak lagi terlihat saat sudah berada di dalam supermarket.
"Dir."
Tak ada sahutan yang terdengar, membuat Ezra memanggil Dirga sekali lagi, "Dirga!"
"Gue denger, anjing."
"Ya nyaut dong!"
"Mau gue nyaut atau enggak, telinga gue di sini-sini aja."
"Tapi—" Ezra langsung batal membalas saat sadar kalau percuma ia berdebat dengan Dirga. Pemuda itu pasti akan menang, bukan karena dia selalu benar, namun karena Ezra ujung-ujungnya akan selalu mengalah mengingat ia belum ingin kehilangan nyawanya. "Lo pernah ada pikiran untuk punya keluarga nggak, sih? Nikah, punya anak... Stuff like that?"
Dirga mengangkat alis sambil akhirnya menolehkan kepala ke arah Ezra yang duduk di sebelahnya. "Tumben pertanyaan lo berbobot?"
Dirga kira Ezra akan menanggapinya dengan makian sebal, namun pemuda jangkung itu justru menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik yang mereka duduki sambil menerawang ke depan. "Because i did."
"I know."
"Oh ya?"
Dirga lantas ikut memandang ke depan. "Setolol-tololnya lo, i still can see it from you. Kids, and all those touchy family things always have their own soft spot in your heart. Gue bisa bayangin suatu hari nanti punya keluarga lo sendiri."
Ezra terdiam sebentar. "Waktu sama Echa, Dir, walau gue sama dia cuma sebentar, gue udah bayangin masa depan apa yang gue dan dia bisa punya." Ezra tersenyum pahit. Suaranya terdengar lebih rendah saat berkata, "Di saat itu, gue udah siap ngelepas semua yang gue punya kalau itu artinya gue bisa berbagi masa depan bersama dia, built our own family."
Seketika Dirga mengerti alasan terberat untuk melepaskan Echa bagi Ezra. Karena pemuda itu bahkan sudah siap menjejaki masa depan bersama Echa.
"Brengsek, dangdut banget gue." Ezra tertawa kecil—yang justru terdengar sangat miris—sebelum kembali meneguk minuman isotoniknya yang tersisa setengah. "Lo gimana? Gila, gue mau bayangin lo gendong anak aja nggak kuat."
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...