Hampir tengah malam, Jani menutup laptopnya usai menyelesaikan PPT-nya untuk presentasi besok. Gadis itu beranjak dari meja belajarnya dan berjalan menuju tempat tidur seraya meregangkan tubuhnya.
Bertepatan dengan Jani yang baru saja merebahkan tubuh di atas kasur, ponsel yang berada di dalam genggaman gadis itu berdering. Jani membaca nama yang muncul di layar, seketika langsung merubah posisi menjadi duduk ketika menyadari siapa yang sedang menelponnya.
Dirga.
Ketika di perjalanan pulang tadi, Dirga memang sempat meminta nomor teleponnya.
"Halo."
"Belum tidur?" Suara Dirga terdengar agak serak di ujung sana.
"Baru aja selesai ngerjain tugas." Jani memainkan ujung piyamanya—entah kenapa jadi malu sendiri. "Kenapa nelpon?"
"Hm?" Dirga terdengar tidak siap saat mendengar pertanyaan Jani itu. "Oh—Gue... Mau ngucapin makasih karena tadi udah mau main ke rumah gue."
"Ooh... Santai aja. Kan tujuannya juga karena gue pengen lihat Vivi secara langsung. Makasih juga tadi udah nganterin pulang."
Ngomong-ngomong, mengingat semua anak-anak Candramawa bisa casting untuk jadi host acara julid, Dirga hanya bisa menurunkan Jani beberapa meter dari Candramawa. Apalagi, trio bungsu lagi lengkap di kostan. Bahaya banget. Soalnya mulut mereka bertiga kalau disatuin bisa mikin Lambe Turah minder.
"Lo sendiri belum tidur?"
"Masih di studio, beresin lagu."
"Jaga kesehatan, Dirga." Sedetik kemudian, Jani kaget sendiri. Ini... KENAPA DIA JADI PERHATIAN BANGET? Maksudnya, Jani nggak mau sampai Dirga salah paham gitu loh. Sebagai Mamanya Candramawa, Jani memang sering bilang kalimat serupa ke para penghuni cowok, tapi kalau diucapin ke Dirga kan jadi beda artinya!
"O-oke." Dirga mendadak gelagapan. "Nanggung aja. Abis ini gue juga langsung balik kok."
"Iya. Nanti baliknya hati-hati."
Dan tiba-tiba saja, tawa Dirga terdengar di ujung sana, membuat Jani jadi mengernyit meskipun bibirnya jadi terangkat sedikit karena mendengar tawa Dirga adalah sesuatu yang sangat langka. Mungkin bisa dihitung dengan jari sudah berapa kali Jani mendengar tawa Dirga secara langsung.
"Kok ketawa?""Lo selalu seperhatian ini ya sama semua orang?"
Jani jadi ikut tertawa. "Aduhhh... Aneh ya? Iya deh kayaknya. Soalnya gue anak sulung juga kan, mana adek-adek gue cowok semua. Gue berasa udah jadi nyokap walaupun belum punya anak. Terus isi kostan gue juga bocah semua kan modelannya."
"Nggak aneh, Rinjani." Dirga diam sebentar. "Tapi mungkin... Lebih hati-hati. Lo cantik, dan nggak semua orang hatinya kebal diperhatiin begini."
Bentar....
Bentar....
BENTAR................
INI DIRGA BARUSAN BILANG GUE CANTIK DENGAN SESANTAI ITU????!!!!
"Hah—Eh, oh... Iya..." Jani mendadak nge-blank.
Untuk sejenak, Dirga terdiam di ujung sana. Apa yang lantas menjadi pemecah keheningan adalah pertanyaan cowok itu yang berbunyi, "Susah nggak?"
"Hng? Apanya?"
"Jadi anak perempuan sulung. Gue rasa nggak segampang kedengerannya."
Mendengar pertanyaan Dirga, Jani membeku. Ada yang menyelinap masuk ke dalam hatinya saat mengetahui bahwa Dirga ternyata memahami apa yang selama ini orang-orang anggap sepele tentangnya. Maka butuh waktu beberapa saat untuk Jani mampu bersuara dan menjawab pertanyaan Dirga.
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...