[20] Menyambut Sebuah Awal

3.5K 533 175
                                    

Malam ini, Dirga menghabiskan waktunya di studio bersama Ezra.

Sudah dua hari berlalu sejak ketidakdatangan Jani di Lagom yang bagi Dirga adalah sebuah bentuk penolakan paling telak.

Dirga awalnya tidak berniat menceritakan apa-apa pada Ezra. Hingga kemarin di sesi latihan Meraki, kekacauan terjadi karena Dirga yang marah secara berlebihan setiap kali ada yang melakukan kesalahan. Yago dan Jagad tentu saja bingung sekaligus takut karena meskipun Dirga memang selalu tegas jika berhubungan dengan Meraki, pemuda itu tak pernah di luar kendali seperti ini. Sementara Ezra sendiri sedikit demi sedikit mulai menyadari bahwa yang Dirga lakukan adalah bentuk pelampiasannya untuk suatu hal lain yang sedang menganggunya. Hingga akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Dirga meledak, Ezra memutuskan untuk menghentikan latihan, kemudian meminta Dirga berbicara ketika Yago dan Jagad pulang.

"Kalau lo nggak mau nanya Jani langsung, coba tanya Jagad atau Yago aja. Gue yakin Jani punya alasan kenapa dia nggak dateng." Ezra bersuara ketika entah untuk ke berapa kalinya malam ini, ia menemukan Dirga yang sedang melamun. "Kalau lo gengsi, biar gue yang nanya."

"Jani emang punya alasan." Dirga menyahut. "Dia nggak ada perasaan apa-apa sama gue. Itu alasannya."

"Ya elah, nggak ada optimis-optimisnya lo jadi orang." Ezra mencibir. "Tapi ya udah, kalau lo emang yakin dia udah nolak lo, ya move on lah. Balik lagi aja ke jaman bejat lo."

"Nggak usah ngomong soal move on kalau wallpaper lo masih fotonya Echa."

"Kapan lo ngintip hp gue?!"

"Polaroid Echa di meja kamar lo juga jangan lupa dibuang."

"Monyet." Ezra pasrah, tak bisa membantah lagi. Sesaat kemudian, ponsel pemuda itu berdering. Dari caranya berbicara, Dirga bisa dengan mudah menebak kalau penelpon di ujung sana adalah Yara. Keduanya berbicara tak lama, namun usai panggilan terputus, Ezra langsung berdiri dan meraih kunci mobilnya. "Yara nyuruh pulang ke rumah, Opa-oma ada di sana. Cabut duluan, ya."

Dirga mengangguk.

"Jangan nangis."

Dirga mengumpat.

Ezra cengengesan sebelum beranjak keluar dari studio, meninggalkan Dirga sendirian di tengah senyap. Pemuda itu mendengus pelan ketika mengingat nasehat Ezra barusan yang menyuruhnya untuk move on, melupakan gadis yang telah berhasil mematahkan hatinya tanpa ampun itu.

Move on. Melupakan. Bergerak maju. Meninggalkan semuanya di belakang.

Semuanya terdengar tak mungkin bagi Dirga untuk saat ini, dan entah sampai kapan.

Karena apa yang ia miliki untuk Jani, Dirga tak yakin akan bisa ia rasakan bersama orang yang lain. Seseorang yang bukan gadis itu. Karena Dirga bahkan tak yakin apakah ia ingin melupakan gadis itu.

Cause loving her worth the pain.

Meskipun itu artinya Dirga telah mengingkari janji yang ia buat dengan dirinya sendiri. Janji untuk tidak lagi membiarkan seseorang yang tidak pasti kehadirannya untuk masuk ke dalam kehidupannya. Setelah kepergian Mama, Dirga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menjadi pihak yang ditinggalkan agar tidak perlu melewati kehancuran yang sama.

Namun lagi-lagi, Dirga menjadi orang yang berpijak di tempat yang sama, menatap langkah-langkah menjauh yang diambil oleh seseorang yang sudah ia percayai sepenuh hati.

Dirga mengusap wajahnya dengan gusar. Pemuda itu akhirnya memilih keluar membeli rokok sekaligus mencari udara segar. Dirga meraih jaket yang ia letakkan sembarang di sofa, sebelum melangkah ke luar, hanya untuk membeku setelah beberapa langkah saat menemukan Jani yang sedang berdiri di area parkirnya dengan wajah yang terlihat bingung sekaligus ragu.

04 - Written in The Stars [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang