[16] The Heart Wants What It Wants

3.1K 567 108
                                    

"Emang hidup gue tuh isinya cuma ngerjain tugas doang apa?! Emang dia kira gue nggak ada kelas lain apa?! IDIH!!! Emangnya—"

Omelan Jani baru berhenti saat Esa menyodorkan gelas es teh milik Jani ke hadapan gadis itu dan mengarahkan sedotan pada gelas ke bibir Jani. "Iya,iya. Gue ngerti, gue ngerti." Esa mengangguk dengan wajah meringis. Antara prihatin dengan Jani yang tampak sudah begitu lelah dengan revisi yang menumpuk, sekaligus malu karena cewek di hadapannya ini berhasil menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka yang kebanyakan juga adalah mahasiswa dengan rentetan gerutunya yang tampaknya tak akan habis jika Esa tidak menyelanya.

Dengan wajah memerah karena kesal, Jani menyedot isi gelas es tehnya hingga tersisa setengah. Siang ini, Jani dan Esa lagi makan di warung dekat kampus karena kebetulan kelas keduanya berakhir di waktu yang hampir bersamaan.

"Ini kalau sekarang ada yang ngelamar gue, langsung gue terima, anjir. Pengen nikah aja lah gue." Jani mencerocos asal masih dengan wajah sebal yang sama sejak ia keluar dari gedungnya dan menemui Esa yang sudah menunggu di tempat parkir.

"Coba tanya Dirga, ada niat nggak ngelamar lo." Esa menyahut santai membuat Jani tersedak meskipun sedang tidak menelan apa-apa yang diikuti oleh sebuah pelototan dengan wajah memanas.

"Filter dikit tuh congor!"

"Gue bener, kan?"

"Mingkem nggak lo?!"

"Loh, lo sendiri yang bilang mau nikah aja?"

"Ya gue nggak bilang orangnya Dirga???"

"Tapi kenapa muka lo merah?"

"Diem, nggak?!"

"Ngarep kan lo?"

"Satu kata lagi keluar dari mulut lo, gue aduin ke Echa lo masih sayang sama dia."

"Aduin aja. Emang bener."

Sambil menahan umpatan, Jani melempar kemangi dari piring lalapannya ke arah Esa yang tersenyum menang dengan puas. Asli, Jani pengen banget ketawa di depan wajah siapapun yang bilang kalau Esa ini kalem. Casingnya saja keren, dalamnya Feni Rose juga seperti anak-anak Candramawa yang lain.

Menyebut nama Echa membuat Jani jadi memikirkan tentang sesuatu yang sempat melintasi kepalanya namun tak pernah ia tanyakan langsung pada yang bersangkutan. Dan siang ini, Jani memutuskan untuk melakukannya.

"Sa."

"Hm?" Esa menyahut tanpa menoleh, sedang sibuk menghabiskan makanannya.

"Gimana sih caranya lo tahu Echa itu... the one untuk lo?" Jani tahu pertanyaannya berhasil mendistraksi Esa dari cara pemuda itu berhenti mengunyah makanannya begitu saja dengan raut wajah yang berubah. "Lo tau nggak ada jaminan lo bakal berakhir sama dia, atau dia bakal jadi jodoh lo. Dia bahkan pernah nyakitin lo dan bikin lo patah hati, gimana bisa lo masih seyakin itu sama dia?"

Esa tidak langsung menjawab pertanyaan Jani itu. Pemuda itu justru terdiam untuk sejenak seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik yang didudukinya. Hingga kemudian, ia menghela nafas sebelum kembali menatap Jani dan menjawab. Katanya, "Gue pernah mikir, mungkin semuanya bakal lebih gampang kalau orang itu bukan Echa. Kalau orang yang gue sayang setengah mati bukan dia. Mungkin gue nggak bakal patah hati kayak yang lo bilang. But it's not my choice to make. We can't control our feelings, Jan. We can't."

Jani memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajah Esa. Ada sesuatu di mata pemuda itu yang terasa berbeda. Sesuatu yang hanya akan hadir jika pemuda itu sedang bersama Echa, atau sedang membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan Echa. "Jadi jawabannya, no, i don't know if she's the one for me or not. But the heart wants what it wants. And heart's never wrong, so i trust my heart."

04 - Written in The Stars [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang