"Beneran nggak mau bilang ke Dirga?"
Entah sudah keberapa kalinya, Jani menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Echa yang juga entah telah berapa kali gadis itu tanyakan. Echa menghela nafas, menatap Jani yang sedang bersandar di kepala tempat tidur dengan wajah pucat.
Singkat cerita, weekend ini Jani dan Echa sudah janjian untuk hangout bareng, hitung-hitung refreshing sejenak dari segala kewajiban mereka sebagai mahasiswa yang rasanya sudah mulai mengganggu kewarasan keduanya. Namun hari minggu kemarin, Jani mendadak nggak bisa dihubungi. Panggilan-panggilan Echa sama sekali tidak dijawab, begitu juga puluhan pesan yang tidak menerima balasannya sama sekali. Barulah pada pagi tadi Jani mengabari Echa yang sudah khawatir setengah mati.
Jani bilang, minggu subuh kemarin ia mendadak drop—kemungkinan besar karena kelelahan dan berulang kali melewatkan jam makan—hingga harus dilarikan di rumah sakit. Untung saja tidak perlu harus sampai rawat inap, namun Jani tetap harus menjalani bed rest selama beberapa hari. Karena memang keduanya tidak punya kelas hari ini, Echa tentu saja langsung menuju ke rumah Jani begitu mendengar kabar tersebut, meskipun Jani berkata dia sudah mulai membaik dan Echa tidak perlu repot-repot ke sana.
"Dia lagi pusing sama single baru Meraki, Cha. Udah dua minggu terakhir dia tidurnya cuma 4-5 jam. Nggak usah lah, gue udah baikkan juga kok ini."
"Lo nggak apa-apa ngebohongin dia?"
"Gue nggak bohong, cuma nggak bilang." Jani mengoreksi, lantas nyengir melihat Echa yang mendengus.
"Jangan coba-coba lo nyeret gue kalau sampai dia tau. Dari cerita-ceritanya Eja aja gue udah bisa ngebayangin seserem apa cowok lo kalau ngamuk."
"Uhuy bawa-bawa mantan."
Echa mendengus. "He's my friend now."
"Tapi kan dulu mantan."
"Ya dulu, kan?"
"Tapi rasanya masih kebawa sampai sekarang."
"Nggak usah ngaco." Lantas, Echa tersenyum tipis saat wajah seseorang melintasi benaknya. "Gue cuma sayang sama Esa aja sekarang."
"Ewww, kalau gue nggak lagi sakit pasti gue bakal lari sekarang. Alergi sama bucin." Jani mengernyit geli.
"Berarti lo harus lari dong dari Dirga? Cowok lo bucin akut begitu."
"Lah, iya ya?"
"Sakit lo mulai merambat ke otak deh kayaknya." Echa membalas, bersamaan dengan ponselnya yang berdering. Nama Jagad muncul di layar. "Gue angkat telepon Jagad dulu. Lo istirahat sana. Nanti kalau udah jam makan siang gue bangunin. Gue masakin deh sekalian."
Jani langsung nyengir. "Ih, wifeable banget sih. Pantes temen gue kepatil. Udah disakitin masih aja mau balik."
Echa melotot sebal ke arah Jani yang langsung terkekeh sebelum kemudian mengangkat panggilan Jagad sembari beranjak keluar dari kamar Jani.
"Halo?"
"Halo, Kak. Lagi sama Bang Eja, nggak?"
"Nggak, nih. Kenapa, Gat?"
"Dari tadi gue nelponin Bang Eja tapi nggak diangkat-angkat. Soalnya kita janjian mau ke studio sore ini, jadi gue pengen minta jemput. Apa jangan-jangan doi koit. ya?"
"Jam segini masih kepagian kalau lo nelepon Ezra, Gat." Echa berkata meski sekarang jarum jam sudah mulai merayap menuju angka 11. "Palingan dia masih tidur. Coba siangan lagi lo telepon."
"Eh, bener juga. Sorry Kak, nggak kepikiran. Otak gue penuh sama Joy 24/7 sih. Azek. Joy beruntung banget, deh. Iya kan, Kak?"
"Iya, Jagad. Iya." Echa tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...