Sore ini, anak-anak Meraki lagi ngumpul di apartemen Dirga. Cuma nongkrong-nongkrong biasa karena kebetulan keempatnya sedang nggak sibuk dengan kegiatan masing-masing dan Meraki juga lagi free.
Dirga menonton TV sambil berbaring di sofa yang awalnya diduduki Ezra hingga membuat sang gitaris Meraki itu tergusur dengan menyedihkannya di lantai. Namun Ezra nggak banyak memprotes, selain karena nggak berani, dia juga sedang nggak mood untuk mengomeli betapa tak berwibawanya dia di hadapan 3 anggota Meraki lain yang berusia lebih muda darinya. Cowok itu sejak tadi hanya memetik gitar yang ia ambil dari kamar Dirga, mengiringi nyanyian galaunya yang kini sudah menjadi pemandangan biasa bagi anak-anak Meraki semenjak pemuda itu berpisah dengan Echa. Beberapa langkah darinya, Jagad sedang duduk sambil memainkan slime yang katanya tadi ia beli saat singgah di supermarket untuk membeli rokok yang Dirga titipkan padanya.
Ezra, Dirga, dan Yago sudah tidak peduli lagi. Mereka terlalu lelah untuk mempertanyakan kewarasan pemuda itu.
Yago yang beberapa saat lalu pergi ke dapur akhirnya kembali sambil merengek. "Bang Dirga, gue lapeeer... Di kulkas lo nggak ada apa-apa."
"Lupa nyetok."
"Gimana nggak lupa, orang tiap hari makan di luar terus sama Kak—" Jagad tak lagi bisa menyelesaikan kalimatnya tatkala menyadari bahwa tatapan Dirga sudah berpindah dari layar TV ke arahnya. "Hehe, canda, bro. Keep calm, peace, love, and gaul. Hehe."
"Hadeh, Don't rich people difficult." Ezra menyimpan gitarnya sebelum berdiri. "Ayo sini daddy beliin."
Seperti biasa, Mikhail Ezra Yudantha hanya akan berguna di saat-saat seperti ini.
"Eh, perginya sama gue aja, Bang." Jagad menyusul berdiri. "Tapi beliin gue slime, ya!"
Sekali lagi, percuma mempertanyakan kewarasan seorang Jagaditya Waradana.
Dulu, sebelum mengenal Jagad dan Yago, Dirga kira ia tidak akan lagi bisa bertemu dengan orang yang tingkat kewarasannya berada di bawah Ezra. Kini, memiliki dua orang seperti Jagad dan Ezra di dalam hidupnya—Yago memang tidak tergolong normal juga, namun masih dalam kadar yang dapat Dirga tolerir—Dirga jadi menduga-duga dosa besar apa yang pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga ia harus diuji kesabarannya dengan menghadapi 2 orang ajaib itu.
"Bang."
"Apa?"
"Yang jahat yang mana?" Yago kini sudah ikut bergabung menonton film detektif yang sedang Dirga tonton hampir 1 jam terakhir.
"Yang cewek."
"Berarti yang cowok baik?"
"Jahat juga."
"Terus mana yang baik?"
"Belum muncul."
"Yang rambutnya pendek?"
"Jahat."
"Yang—" Yago langsung merapatkan bibir saat Dirga meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. "Iya, diem nih, diem."
Namun jujur, segalak-galaknya Dirga, tingkat kekejamannya terhadap Ezra-Jagad sangat berbeda jika dibandingkan dengan Yago. Tanpa Dirga sadari, sejak awal mengenal Yago, ia telah memiliki softspotnya sendiri untuk anak itu. Walaupun terkadang kelakuannya juga dipertanyakan, Yago itu benar-benar nggak pernah macem-macem. Dia penurut, meskipun memang sudah sedikit terkontaminasi sisi iblis yang ia dapatkan dari Jagad. Singkatnya, meskipun Dirga selalu kesulitan untuk menunjukkan rasa pedulinya secara gamblang, ia tahu dirinya tidak akan tinggal diam jika ada yang berani menganggu Yago.
Kalau Ezra sama Jagad nggak perlu. Tingkah mereka sudah cukup untuk membuat siapapun muak duluan sebelum mengusik mereka.
Hampir lima menit berlalu, ponsel Yago yang berada di atas meja kaca rendah di depan sofa berdering.
KAMU SEDANG MEMBACA
04 - Written in The Stars [Completed]
Teen Fiction[Book #04 of Candramawa Universe] ❝Bagi gue, itu Jani.❞ Jennar Rinjani Kusuma. Jani sebenarnya cuma mahasiswi biasa yang kebetulan ngekost di kostan luar biasa-Candramawa. Pergi ke kampus, ngomelin anak-anak Candramawa, masak, repeat. Bagi semua ora...