[10] Mengambil Kesempatan Pertama

3.6K 639 105
                                    

Sejak setengah jam terakhir usai selesai mengerjakan laporannya, Jani tak bisa menahan diri untuk tidak melirik layar ponselnya meskipun ia sudah berusaha menyibukkan diri dengan menonton Youtube di laptopnya.

Sudah beberapa minggu ini, Jani punya kebiasaan baru setiap malam. Menghabiskan beberapa menit sebelum tidurnya untuk mengobrol dengan Dirga lewat telepon. Mereka akan membicarakan apa saja, mulai dari hal-hal ringan seperti menu makan malam hari ini hingga sesuatu yang berat, seperti tujuan hidup atau masa depan yang memang terdengar sederhana, namun kian bertambahnya usia, mulai menjadi sesuatu yang menyeramkan.

Kebiasaan mereka ini berawal Dirga yang bosan di studio atau sedang suntuk mengerjakan tugas dan butuh teman mengobrol, lama-kelamaan menjadi kebiasaan tiap malam yang tak pernah mereka lewatkan sekalipun.

Tak pernah sekalipun, hingga malam ini.

Jani menggigit bibir, mulai gelisah. Apa harus telepon duluan? Ck, nggak ah. Ketahuan banget kalau dari tadi gue nungguin.

Tidak tahan lagi, Jani akhirnya meraih ponselnya dan beranjak dari kasur, keluar kamar dan berjalan menuju kamar yang berada di paling ujung kanan—kamar Jagad.

Jani mengetuk dua kali, lantas menekan knop pintu saat suara Jagad memperbolehkannya masuk. Ketika pintu terbuka, pemandangan Jagad yang sedang duduk di kursi belajar dengan kertas yang berserakkan di mana-mana dan laptop yang menyala menampilkan video pembelajaran penuh rumus menyambutnya.

"Eh, lagi sibuk ya?"

Jagad menjeda video di laptopnya, lalu menoleh, "Lumayan. Kenapa, Kak?"

"Nggak jadi, deh." Jani meringis. Ia awalnya berencana untuk bertanya soal Dirga—yang sebenarnya masih ia ragu untuk lakukan karena tentu saja menanyakan Dirga pada Jagad atau Yago sama dengan melemparkan diri ke dalam kandang buaya—namun melihat Jagad yang tampaknya sedang sibuk, Jani memutuskan untuk mengurungkan niatnya.

"Beneran, Kak?" See? Cowok itu sejak tadi tidak nyampah sama sekali, menunjukkan bahwa ia memang sedang tidak bisa diganggu.

Jani mengangguk. "Jangan lupa istirahat lo, udah mau UAS kan?"

"Gimana mau istirahat, Kak? Olim bentar lagi, UAS juga bentar lagi, Meraki juga lagi mau rilis lagu baru."

Oh, jadi itu alasannya.

"Tapi percuma kalau lo metong sebelum itu semua." Jani mulai mengaktifkan mode emak-emaknya. "Jangan capek-capek. Kalau mau gue masakkin sesuatu bilang aja."

Jagad mengangguk, kembali fokus pada lautan kertasnya sesaat setelah Jani merapatkan pintunya dan kembali ke kamarnya. Jani kembali ke kasurnya sambil menghembuskan nafas panjang. Oke, jadi sebaiknya ia tidak usah lagi menunggu telepon dari Dirga yang akhir-akhir ini sudah menjadi suara pengantar tidurnya karena pemuda itu tampaknya sedang sibuk—

Tiba-tiba saja, dering ponsel Jani memecah hening di kamar.

Nama Dirga muncul di layar.

Jani dengan cepat menggeser tombol hijau, yang lantas disesali gadis itu satu detik kemudian karena membuatnya begitu kentara sedang menunggu telepon dari pemuda itu.

"Hai."

"H-hai." APAAN SIH ANJIR LO MENDADAK GAGAP BEGITU?! Jani merutuki dirinya sendiri di dalam hati.

"Gue hampir kelewatan ritual tiap malam kita, ya?"

"Hm." HM DOANG, JAN?! KENAPA LO MENDADAK BEGO BEGINI SIH?!

"Maaf ya, Rinjani." He sounds so calm... And soft... Nada bicaranya rendah, sedikit serak dan sangat menenangkan. "How was your day, hm?"

04 - Written in The Stars [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang