Chapter 23-Kembali Ke Asrama

248 61 8
                                    

Chapter 23
Kembali Ke Asrama

Terdiam, itulah yang dilakukan Rexilan dan Seana. Mereka sudah saling berdiam diri sejak 15 menit yang lalu di pelantaran rumah sakit. Tidak ada satu pun yang mau membuka suara.

Deru kendaraan yang lalu lalang di depan jalan raya menjadi pengisi kekosongan di antara mereka.

"Mau pulang ke mana?" tanya Rexilan pada akhirnya

"Rumahku-lah. Masa rumahmu," jawab Seana masam. Rupanya, ia masih kesal dengan perkara lupa ingatan.

Rexilan pun menoleh, menatap wajah Seana yang sembab namun masih terlihat galak.

"Ingat Mika?" tanya Rexilan lanjut

"Anak kelas malam, 'kan? Ingatlah."

Cowok itu pun lantas melirik ke arah kanan dan kiri pelantaran rumah sakit. Lalu meraih pergelangan tangan Seana dengan cepat.

Sekonyong-konyong bayangan tubuh mereka lenyap ke dalam udara. Beberapa detik kemudian, Suara teriakan Seana bergema kencang dan memekikkan telinga.

"Akhhh!!! Kenapa kamu bawa aku ke sini lagi sih?!" ungkapnya dengan kesal.

Kamar yang masih terlihat sama sejak terakhir kali Seana tinggalkan. Tentu saja, kalau tidak bukan di asrama kelas malam. Seana pun dengan cepat menghempaskan tangan Rexilan yang memegangnya erat.

"Sementara ini, tinggalah di sini," tutur Rexilan menjelaskan, "di luar sedang lagi banyak masalah. Kau pasti akan terkena imbasnya."

Seana hanya bergumam kasar seraya menjatuhkan diri duduk di tepi kasur. Melihat gelagat Seana yang masih menyimpan dendam padanya, membuat Rexilan harus memutar otak dengan cepat.

"Mika adalah Urka. Dan akibat ulahnya, makhluk tersebut telah memakan seluruh jiwa anak-anak kelas malam. Semua itu termaksud Pooja dan yang lainnya."

Rexilan secara gamblang menjelaskan semuanya. Mendengar hal tersebut, kepala Seana berputar cepat. Pupil matanya terbelalak lebar.

"A ... pa kau bilang?" seru Seana tak percaya

"Makhluk yang menghisap sebagian jiwamu," ulang Rexilan, "dia juga telah memakan teman-temanmu. Maka dari itu, dunia sedang kacau dan kau mesti diam di sini sampai semua aman."

Tahu bahwa Seana akan melontarkan sebuah pertanyaan baru, membuat Rexilan bergerak cepat untuk meninggalkan kamar. Tujuannya untuk membuat amarah Seana menghilang memang berhasil.

Tapi kini, dia malah memunculkan perasaan baru bagi Seana.

"Tunggu! Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi!" titah Seana seraya berlari menghadang jalan Rexilan. Air matanya, tahu-tahu sudah mengalir keluar dari pelupuk matanya.

"Rencana awal untuk mengirim anak-anak kelas malam ke dunia atas. Malah berakhir membuat mereka di makan si Urk," jelas Rexilan dalam.

Jika Seana mendengar lebih dalam dan penuh penghayatan pada tiap kata Rexilan.

Ia akan menyadari ada luapan emosi yang tengah di tahan Rexilan sedari kemarin. Apalagi, jika ia mengingat bagaimana misi 100 tugasnya gagal di percobaan ke 100.

Pandangan Seana tahu-tahu menjadi kosong. Tubuhnya pun ambruk. Setelah ibunya, kini ia malah mendapatkan fakta bahwa teman-temannya telah tewas.

Bagi Seana, rasanya baru semalam mereka belajar dan tertawa bersama. Apalagi saat ia dan yang lainnya bersemangat meniru gaya Rexilan di dalam kelas. Ingatan tersebut, sangat terlihat jelas dalam benaknya.

Tangis Seana meledak. Entah dia menangis untuk sang ibunda atau teman-temannya. Rexilan yang melihat hal itu pun membungkuk dan berlutut sedikit dengan satu kaki.

Lalu ia pun membekap Seana untuk mencoba menenangkannya dengan cara menepuk-nepuk punggung Seana dengan pelan.

Mendapati perlakuan tersebut, adik Syan itu semakin histeris dalam pelukan Rexilan. Perasaannya campur aduk, semua kejadian ia tangisi.

Di satu sisi, ia mungkin benar-benar merasa berduka telah kehilangan seorang teman seperti Pooja dan yang lainnya.

.
.
.

Dua netra mata berwarna merah terang saling bertemu satu sama lain. Rexilan sendiri cukup terkejut melihat sang ayah secara mengejutkan ada di dunia manusia. Lebih tepatnya, di depan asrama kelas malam.

"Apa yang Ayah lakukan di sini?" ungkap Rexilan keheranan.

"Memangnya ada yang salah, kalau seorang Ayah melihat anaknya sendiri?"

Rexilan justru tersenyum tipis mendengar hal tersebut. Ini tidak seperti sikap ayahnya, setelah sekian purnama. Keinzq tahu-tahu mau menginjakkan kaki di dunia manusia.

"Apa telah terjadi sesuatu?" tanya Rexilan kembali.

"Bisakah kau menyuruh Ayahmu masuk ke dalam? Di sini dingin," protes Keinqz.

"Baru kudengar. Ada Iblis yang merasa kedinginan."

Sindiran keras sang putra, rupanya membuat dua tanduk milik Keinzq mendadak mencuat dari sela-sela rambutnya. Lalu ia pun menyeringai kepada sang putra dengan wajah seperti ingin membunuh.

"Minggir!"

Didorongnya tubuh Rexilan lalu masuk ke dalam lobi. Melihat sebuah sofa tengah nganggur di salah satu sudut, membuat Keinzq pun membenamkan bokongnya di sana.

"Jangan kembali lagi ke Onshen," ungkap Keinzq, "cepat bereskan semua barang-barangmu dan ikut aku  ke kota. Orang-orang di sana sedang memburumu. Aku terpaksa menjemputmu ke sini."

Mendengar hal tersebut, binar mata Rexilan pun berubah. Selama ini, ayah ini tidak pernah bersikap seperti pada  seorang ayah pada umumnya.

Walau pria itu memenuhi semua tugasnya untuk membesarkan Rexilan. Tak pernah sekalipun, ia mau datang menjemput Rexilan ke sekolah. Jangankan menjemput, mengantar pun tidak. Semua itu di lakukan oleh abdi setianya di dunia bawah.

"Aku akan menyelesaikan masalahku, ayah," seru Rexilan menjelaskan, "duduk di tahtamu dan lakukan seperti biasanya."

Keinzq yang sedari awal berniat membawa sang putra. Kini, malah terpancing emosi akan ungkapan Rexilan. Niat mau menolong si buah hati menjadi emosi yang meledak-ledak.

"Rexilan!" Sebuah tamparan tahu-tahu mendarat telak di pipi kanan sang putra.

Sorot mata Rexilan pun cukup terkejut. Ini kali pertama, sang ayah menamparnya langsung.

"Demi dirimu, aku harus sampai pergi menginjak dunia manusia. Ayah mana yang akan tinggal diam, saat melihat putranya diburu semua orang atas dosa yang bukan dia lakukan, hah?!"

Emosi Rexilan pun tersulut. Kenangan pahit masa lalu dirinya pun menguar keluar.

"Jika ayah peduli padaku. Harusnya ayah membawaku bertemu Ibu! Jika ayah peduli padaku, harusnya ayah yang mengantarkanku ke sekolah! Jika ayah peduli padaku, harusnya ayah yang hadir di hari kelulusanku! Bukan Paman Sam!" jerit Rexilan frustasi.

Seana yang sedari tadi tidak sengaja mendengar keributan itu. Berusaha sekuat tenaga menahan suara bahkan deru napasnya sendiri dibalik dinding.

Ayah dan anak tersebut sama-sama diam dengan campuran emosi yang berbeda-beda. Seana yang tahu, bahwa ia lebih baik tidak terlalu lama berada di tempat itu. Memutuskan untuk segera pergi.

Tapi ketika kakinya baru bergerak melangkah. Suara bariton yang mengintimidasi menghentikannya langsung. Bersamaan dengan itu, sosok Kazu hadir dan menggenggam jemari tangan kanan Seana.

"Gadis muda. Siapa yang mengajarkanmu pergi melarikan diri saat mendengar semuanya," lirih Keinzq dengan ekor mata yang memincing tajam. Tepat, ke arah persembunyian Seana.

Menyadari siapa yang dimaksud sang ayah. Membuat Rexilan mengikuti arah pandangan sang ayah pada sebuah dinding.

Di ujung sana, muncul Seana bersama Kazu yang tengah menatap galak pada ayah Rexilan. Sedangkan Rexilan, ia seperti merasa salah tingkah. Sebab, Seana telah mendengar semua masalah keluarganya.

_/_/_/______

Bersambung...

Ada yang menunggu, cerita ini?
ಥ⌣ಥ

Kelas Malam (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang