Chapter 26 - Keributan

254 55 2
                                    

Chapter 26
Keributan

Oke, bagi Seana ini adalah situasi yang buruk. Otaknya bertindak cepat dengan menarik lengan Rexilan menjauh dari Excel dan Ralp. Sekarang, bukan saat yang tepat untuk berkelahi.

"Ambil makanan dan kita cabut pergi!" desis Seana sembari mencengkram lengan Rexilan dengan kuat. "Aku tidak peduli, jika kamu mau berkelahi dengan mereka. Tapi untuk detik ini. Aku tidak setuju!"

Excel pun melempar tatapan pada Ralp lalu kembali melirik pada Seana dan Rexilan.

"Gini aja, kau bisa pergi ke tempat tujuanmu dan tinggalkan Rexilan pada kami. Selama kau tidak mengganggu kami, kamu akan aman."

Excel pikir, dengan merayu Seana sedikit ia bisa bersenang-senang dengan Rexilan. Namun nyatanya, tidak. Gadis itu justru tersenyum tipis menatap Excel.

"Maaf, aku tidak akan termakan dengan rayuan iblis." Menohok Seana.

Tanpa mempedulikan respon apa yang akan diberikan Excel. Seana pun menarik pergi Rexilan.

"Kembalikan waktu dunia ini dengan normal," bisik Seana, "kau sudah janji untuk membawaku bertemu Bunda di rumah sakit, 'kan? Jadi, tepati janjimu."

Sembari memutar bola mata malas, Rexilan pun kembali menjentikkan jarinya. Dan waktu pun kembali normal.

Seana pun menoleh ke arah belakang dan masih mendapati Ralp dan Excel yang menatapnya tajam.

"Aku punya rencana Excel," seru Ralp dengan mata tetap fokus menatap Seana dan Rexilan. "Rencana yang sangat bagus. Ayo!"

Ia pun melangkah pergi meninggalkan meja. Seana masih memperhatikan keduanya. Hingga saat pesanan yang dititipkan Yuri pada pegawainya tiba. Barulah, Seana kembali menolehkan kepala ke arah depan.

"Kita pergi."

.
.
.

"Kalian mau ke mana?" tanya Syan saat hanya ia dan Rexilan yang berada di luar ruangan.

"Ke neraka."

"WTF?!"

"Ini untuk semuanya. Aku perlu menyelesaikan masalahku dan adikmu juga terkena imbasnya."

Syan nampak frustasi. Ia belum bisa memberikan keputusan apapun. Ya, dia tahu. Sahabatnya ini bukan manusia. Jangan tanya kapan Syan mengetahui semuanya. Backstory keduanya akan sangat panjang.

"Oke, aku akan mengizinkanmu membawa Seana. Tapi dengan satu syarat. Aku tidak ingin melihat ada sedikit goresan pada tubuh adikku. Atau kau akan kena akibatnya."

Rexilan pun tersenyum puas. Lalu mengulurkan tangannya yang terkepal ke arah Syan. Yang mana langsung dibalasin Syan.

"Percaya padaku."

.
.
.

"Kamu serius Seana?" bisik Yuri hati-hati. Pasalnya, wanita yang sedang dirawat di dalam ruangan tersebut, baru saja tertidur.

"Yap. Rexilan yang bilang. Aku tidak yakin Abang Syan bakal kasih izin. Ke neraka? Rex mengajakku semudah, pergi mengajak ke pantai."

Seana hanya menggeleng kepala. Aneh memang, apalagi didengar oleh orang waras. Siapa sih yang mau jalan-jalan ke neraka?

"Memang benar Seana. Akhir-akhir ini aku merasakan energi negatif di luar sana sedikit liar dan menakutkan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi rasanya, jauh lebih dingin dari biasanya," papar Yuri, "lalu Kazu? Bagaimana dengan dia? Apa kamu akan meninggalkankannya di sini?"

"Ah." Seana seakan baru tersadar oleh sesuatu. "Aku lupa soal Kazu. Tapi ... aku juga tidak ingin membawa Kazu ke neraka. Bagaimana jika dia dibuat menjadi budak iblis? Aku tidak mau itu."

Seana dan Yuri pun sama-sama termenung. Percakapan mereka dilakukan dengan bisik-bisik kecil. Kendati demikian, pintu ruang inap pun terbuka dan sosok Syan yang memberi kode pada Seana dan Yuri untuk keluar sebentar dari kamar.

"Abang sudah bicara sama Rexilan. Abang izinkan kamu pergi dahulu sama dia."

Seana yang mendengar hal tersebut terbelalak menatap sang kakak laki-laki. Dia belum mengucapkan sepatah kata pun tapi raut wajahnya yang terkejut dan tidak terpacaya, mengarah fokus pada Rexilan.

Apa yang dia katakan pada Abang?

Rexilan yang ditatap Seana hanya tersenyum amat-amat sangat tipis, ditambah ekspresi wajahnya yang datar.

"Bang," panggil Seana. Syan pun menepuk pelan pundak Seana.

"Jangan pikiran soal Bunda. Kan tadi Bunda bilang udah baikan. Beberapa hari lagi juga pulang. Kamu fokus aja sama kegiatan eskul kamu."

"Hah?!" ungkap Seana, "eskul?" ucapnya tak yakin.

"Iya, Eskul, 'kan? Kalian ada kegiatan sekolah? Udah fokus aja. Toh, kepala sekolahmu sudah minta izin ke sini."

Seana hanya tertohok menatap Rexilan. Sorot matanya mengindentifikasi banyak hal. Tapi seperti biasa, Rexilan hanya bersikap santai.

"Kalau gitu. Kita cabut Syan," pamit Rexilan.

Seana yang belum mau meninggalkan ruang rawat inap mendekat ke arah Syan.

"Abang," ujar Seana.

"Jangan khawatir, Seana. Bunda baik-baik saja. Pergi sana. Rexilan sudah menunggu," balas Syan seraya menepuk pelan pundak sang adik.

Tidak tahu harus bersikap apa. Seana hanya bisa tersenyum samar. Lalu menoleh ke arah Yuri.

"Tolong jaga Abangku ya? Kak Yuri," kata Seana

Yuri mengganguk seraya merangkul Seana dalam pelukan lalu berbisik pelan.

"Jangan pernah jauh dari Rexilan."

Setelah melepaskan pelukan. Seana sedikit termanggu. Tapi rasa penasaran akan ungkapan Yuri harus tertunda karena Syan sudah keburu menariknya pergi.

.
.
.

"Tutup matamu," tukas Rexilan saat keduanya malah berada di pinggir jalan. Di samping itu, Rexilan pun tengah mengenggam tangan Seana.

"Rex, kamu jangan mengada-ada. Masa mau ke neraka harus pegang tangan dan merem sih."

"Udah ikutin aja. Ini demi keamanan kita bersama."

Merasa kesal, Seana pun mengikuti. Setelah menutup mata, indra pendengarannya terasa tajam. Suara deru mesin dan bunyi klakson di sepanjang jalan raya terdengar jelas.

Sekonyong-konyong, Seana pun mulai merasakan angin berhembus lembut yang perlahan-lahan berubah menjadi dingin, hening dan sepi.

"Buka matamu," titah Rexilan.

Menurut, Seana pun perlahan-lahan membuka matanya. Secara samar-samar, sebuah bangunan serba hitam berdiri megah di depan matanya. Semakin terlihat jelas, pupil mata Seana terbelalak lebar.

"Rumah tua?!" jerit Seana yang mana langsung berpaling ke Rexilan.

"Kastil Seana," tukas Rexilan dengan muka masam. "Ini kastil ayahku—"

"Rexilan! Oy Rexilan!"

Kalimat Rexilan terpotong, seorang pria dewasa nampak berlari-lari kecil menuruni undakan anak tangga. Manik matanya yang merah menatap bahagia Rexilan serta Seana.

"Sudah kutunggu," ujarnya semringah

"River," sindir Rexilan datar

Seana nampak tertengun menatap River. Pemuda itu justru cengar-cengir menatapnya.

"Memang ya, pesona manusia gak ada yang lawan. Pilihanmu bagus juga. Eh, selera," ralat River.

Mendapat pujian dari sang paman. Hanya membuat Rexilan tetap bermuka datar seperti biasa.

"Ayo Seana."

Rexilan pun menarik tangan Seana dan menutunnnya menapaki undakan anak tangga. River yang merasa tidak dipedulikan hanya memutar bola mata malas pada keponakannya.

"Benar-benar dech itu bocah. Mirip sekali dengan Ayahnya."

Tidak ingin ketinggalan, River pun berbalik mengejar mereka.

"Rexilan, tunggu!!!"

__/_/____//____

Bersambung...

Kelas Malam (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang