Sudah hari ketiga selepas semua terbongkar begitu saja. Musim dingin sebentar lagi pula pudar, tetapi lagaknya misi Lisa untuk menjunjung keadilan harus tertunda sampai bulan depan. Sayang sekali, padahal dia sudah mengorbankan banyak hal. Omong-omong, Jungkook tidak pulang, Lisa tidak tahu ke mana sang suami pergi usai tengkar yang tergolong tenang kemarin-kemarin. Tidak berkabar. Tidak saling menanyakan. Namun dia paham, seluruh luka Jungkook tidak bisa sembuh dalam waktu instan, lebih-lebih lagi kepercayaan lelaki itu. Jungkook perlu banyak-banyak waktu untuk meredam remuk.
Mengistirahatkan daksa yang kian melemah di atas ranjang, diikuti usapan sayang pada perut yang kian membuncit. Anak ini ... apakah Jungkook akan mencintai anak ini? Dia belum bisa membayangkan bagaimana nasib bakal anak yang tengah tidur di rahimnya sekarang bila suatu waktu Jungkook telah jemu. Tidak, Jungkook tidak mungkin mau berpisah.
Terlalu larut memikirkan Jungkook membuat dia lupa untuk mengabarkan seseorang perihal semua yang sudah rampung dia kerjakan. Dengan gerakan perlahan, dia menjangkau ponsel di atas nakas. Kaca ponselnya retak, tidak heran sih, Jungkook membanting ponsel cukup keras saat itu. Dia menekan salah satu nama untuk segera menyambungkan telepon. Beberapa kali deringan tanpa sahutan. Dia mengerut samar. "Ke mana, sih?" Dia menggerutu sepanjang dering ponsel. "Sudah kubilang harusnya ponsel jangan di—"
"Iya? Maaf membuatmu menunggu. Kakak baru saja memasak."
Di seberang, Lalice masih dengan celemek kotak-kotak merah putih serta spatula di tangan kiri tengah menatap jendela kamar yang tak pernah dibiarkan terbuka benar-benar. Kendati terasa pengap di awal-awal, setidaknya ia memiliki kebebasan di sini.
Kurva sabit Lisa mengembang mendengar suara ceria sang kakak. "Kakak mau tahu sesuatu? Ah, iya, ini mengejutkan pastinya, tetapi bukankah kejujuran memang akan selalu menang?"
"Kau bicara apa?"
"Jungkook tahu semuanya. Aku yang menyeleweng, Kakak yang masih hidup, ayah seorang pedofil—semua, Kak, semua." Dia menggebu-gebu ketika menjelaskan. Ternyata, kejujuran memang membuat hati lebih damai.
Lalice menunduk sebentar, mengulum senyum menatap ubin. "Senang sekali mendengarnya, Lis. Memang harusnya sedari awal begini; kita menuntut kejujuran, maka kita pun dituntut untuk menjadi jujur." Menggerakkan tungkai mendekati dapur, Lalice menempelkan ponsel di antara telinga dan pundak. "Lalu? Apa Jungkook marah?" tanyanya, sedikit dibumbui nada jenaka di bagian akhir.
"Tentu saja. Walaupun Jungkook sangat mencintaiku, mana ada pula manusia yang lapang melihat istrinya berselingkuh? Kalau ada, dia gila."
"Kau menghardik suamimu sendiri, lho, Lis." Kemudian Lalice terkekeh samar. Tangannya cekatan memindah kue dari loyang ke atas piring hias.
"Saat itu Kakak sudah dapat bukti, 'kan?"
"Tentu. Aku tidak pernah membuat suatu pengorbanan berakhir sia-sia," katanya, "apalagi sedikit banyak menyamar jadi kau membuatku lebih yakin untuk membiarkan Jungkook menggantikanku sebagai penjagamu. Ia pria yang baik."
Lisa menengadah. Mengingat ketika Lalice bercerita perihal Jungkook yang terkejut ketika disentuh, atau Jungkook yang sempat tercengang tatkala Lalice memanggilnya dengan sebutan 'Kook'—dia tahu jika Jungkook telah menaruh curiga pada pertukaran itu. Diam-diam dia menyemat senyum. "Ya, Jungkook sudah bisa membaca kebiasaanku. Pasti berat sekali bersikap menjadi aku, 'kan, Kak?"
˚⸙͎۪۫⋆
Ketika butir-butir es tak lagi sesesak lampau, suhu pula tak sekasar di awal. Semua mengalami perubahan. Perlahan-lahan, berangsur-angsur. Waktu tidak pernah menunggu pergerakan, waktu begitu berdiri dengan independen di ujung bahkan pertengahan hari. Sekon per sekon punya cerita yang tak tahu memiliki jumlah berapa. Tidak mengerti apakah luka di sekon pertama, ataukah bunga-bunga bahagia meraja di sekon selanjutnya. Seperti Seokjin, ia tak pernah tahu rahasia waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] BLUR
RomanceJungkook dan Lisa dipertemukan untuk saling mengisi; melengkapi bagian yang rumpang, memperbaiki apa-apa yang perlu direnovasi. Tuhan merampai mereka dengan sebuah simpul pernikahan. Namun bagi keduanya, simpul yang tengah mereka pintal tak lebih da...