Blur | 24

554 62 1
                                    

"Mustahil, bagaimana ... bagaimana bisa?"

Terkesiap buka labium lebar serentak bersama kelopak kembarnya, Lice dibuat stagnan oleh apa yang kedua retina persembahkan di depan. Ia menjulurkan tangan, menyentuh rema halus yang punya tinggi badan hanya sebatas pinggul Lisa saja. Mungil, cantik pula. Namun fokus bukan pada seberapa menawan gadis kecil di samping Lisa, tetapi lebih kepada bagaimana cara si Jehanne itu membawa salah satu gadis koleksi ayah ke rumah. Terkadang Lisa memang lebih mematikan ketimbang racun, cara Lisa licik dan ia tidak perlu meragukan sang adik.

Lisa mengusap pundak tegang Chaeri—gadis kecil berambut sebahu dominan kroma arang kesayangan ayah. Chaeri lebih sering tidur bersama ayah ketimbang anak-anak lainnya, sayang sekali dia tidak bisa mengambil mereka semua dari neraka yang ayah sebut sebagai rumah. Sulit membawa Chaeri dengan aman lari dari ayah, tetapi baginya proses merebut Chaeri tentulah mudah. Untuk apa dia mengubah identitas sebagai Lice jika itu tidak bisa digunakan, bukan? Ya, sudah rahasia umum jika ibu tak bisa menolak keinginan putri tercintanya ini.

Dia tidak melupakan Jungkook yang masih sempat tersenyum ketika pertemuan kemarin malam menjumpai akhir. Pada temaram lampu jalanan, senyum Jungkook tidak lekang kendati remang. Dia bisa rasakan kerinduan Jungkook yang juga sama besar seperti yang dia rasai beberapa hari ini. Mungkin, Jungkook akan sembuh sendiri tanpa perlu dia usik-usik tiap sekon berganti. Sebab, obat paling ampuh untuk mengobati adalah waktu.

Kilas balik kemarin hari segera dia buang ke dalam serebrum ketika Lice sekonyong-konyong membenturkan badannya. Lice memberi pelukan, kalau tidak salah juga sang kakak sekarang sedang tersedu sedan.

"Katakan padaku kalau semua ini akan berakhir baik, Lis." Getaran suaranya dibiarkan. Lice tidak bisa berhenti takut atas semua ini. Probabilitas buruk selalu jadi mimpi menyeramkan tiap kali ia berangan-angan bisa gapai kebebasan dan melepas keadilan. Mata sang ayah yang berkilat penuh dendam, atau bagaimana lelaki tua itu menggunakan kekuasaannya atas wilayah yang beliau punya—sungguhan, semua itu membuat ia takut sekali. Sampai suara serak tiba-tiba tandang ketika ia mengimbuhkan, "Tetaplah bersamaku, Lis. Aku tidak mau meninggalkanmu lagi dalam luka-luka yang kausembunyikan sendiri. Kita akan melakukannya bersama-sama."

"Walau bisa saja kita menggapai kegagalan?"

Bohong bila Lisa tidak merasa cemas. Melawan ayah hanya ada dalam bongkahan delusi-delusi masa kecilnya, tetapi berdiri di samping Chaeri sekarang membuat dia yakin bahwa terkadang sebuah konfrontasi memang dibutuhkan. Detak jantung yang dahulu dia sebut sebagai detak kematian ini perlahan mengubah diri, dia mencintai debar-debar anugerah Tuhan yang dahulu dia benci karena Jungkook sudah jadi konotasi nyata pada bilik-bilik atau bahkan serambi-serambi organ dalamnya.

Ketika tangis mereka meledak, tumpah ruah memenuhi kekosongan kamar tidur Lisa yang dibekap penghangat ruangan, cicit kecil dari arah kanan membuat keduanya serempak menunduk pasif.

Chaeri dengan wajah polos kemerahan itu berbisik, "Aku akan lakukan apa saja demi kebebasan teman-temanku di sana."

˚⸙͎۪۫⋆

Pagi berjumpa pagi di carik Februari akhir menjelang semi pada jam-jam cilik di depan. Sudah lampau mereka menyusuri hari untuk temukan secercah sinar, entah sudah tiga pekan, empat, atau nyaris lima. Mereka meniti setapak bersama untuk selamatkan keadilan yang telah lama terambau. Tahap ke tahap, tak jarang jumpai terjal, tetapi mereka tahu kalau keringat yang bercucuran seperti hujan tidak pernah berakhir sia-sia.

Si kembar tak pernah merasai letih di pertengahan hari setiap berkunjung ke firma hukum tempat Jungkook bekerja, tidak pula mengeluh tatkala Seokjin meminta sedikit bantuan pemasaran, dan Jisoo adalah tempat pulang ternyaman yang mereka semua miliki. Jisoo selalu menyambut mereka dengan dua tangan merentang, menyodorkan susu hangat serta makanan bergizi yang akhir-akhir ini hampir mereka lewatkan—bila saja Jisoo tengah terlupa. Mereka dimanifestasikan dalam kesempurnaan absolut. Saling mengisi satu sama lain, laksana gelas kosong dan tetes-tetes hujan.

[✓] BLURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang