Blur | 22

529 78 17
                                    

"Menangislah, Seokjin. Aku di sini."

Menepuk bahu merosot Seokjin, Jisoo mendampinginya hingga kini mereka duduk berjongkok seperti pengemis di tepi jalan. Ia tidak meminta Seokjin untuk berlagak semua hanya hal sepele, tidak begitu. Ia membiarkan Seokjin untuk menikmati sakit yang menghujani seluruh napas lelaki itu, supaya Seokjin tahu kalau Jungkook juga sama patah; terpuruk, bahkan lebih daripada Seokjin.

Merelakan memang bukan perkara enteng. Lebih-lebih lagi menonton Seokjin menangis sembari menenggelamkan wajah pada ceruk lutut yang tertekuk karena telah lapang dada menyerahkan separuh kehidupannya kepada Jungkook, ia semakin percaya bahwa titik puncak dari rasa cinta adalah merelakan. Seokjin telah berjuang keras, maka ia bersedia untuk menemani lelaki Park yang menangis ini menenangkan diri—semalam penuh. Ia hanya ingin menghargai keputusan Seokjin, anggap saja hadiah atas ketegarannya.

"Ini sakit sekali," racau Seokjin. Ia mengusir tangis, menengadah untuk bertukar pandang. Jisoo masih di sampingnya, tersenyum manis sekali. Kemudian ia mendekatkan diri untuk meletakkan kepala yang terasa berat pada salah satu pundak Jisoo.

Terkejut, sedikit. Namun Jisoo menguasai diri lebih cepat dari yang Seokjin duga. Lantas jemari dingin Jisoo mendarat di pipi Seokjin yang lembap. "Everything will be fine, Jinnie."

˚⸙͎۪۫⋆

Lisa memenjarakan senyap yang sesak pada diafragmanya. Alunan musik yang Jungkook putar keras-keras seakan hanya denting jam bersuara lemah di tengah keramaian. Di ranjang, Jungkook tertunduk menangis. Dia tidak berani mendekap Jungkook seolah semua memang tak pantas untuk ditangisi berlama-lama. Lisa sangat tahu bagaimana cinta Jungkook yang berbunga itu tumbuh memenuhi dada, dia paham jika kebohongan ini meremukkan Jungkook sampai ke inti. Namun, apakah keputusan untuk mempertahankan ikatan rumpang berlandaskan timbal balik ini masih belum cukup di mata Jungkook? Dia sudah mengorbankan Seokjin, seharusnya Jungkook tidak perlu merasa khawatir lagi, bukan?

"Maaf," ujarnya. Membelai rema jelaga Jungkook penuh afeksi. Kalau dikatakan menyesal, tentu dia akan berteriak sekencang mungkin untuk membantah. Tidak, dia tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk melepas Seokjin demi mengabdi pada Jungkook. Ada suatu rasa yang sulit dia jabarkan ketika berada di garis edar Jungkook, sesuatu yang terasa penuh. Bersama Seokjin dia bahagia, tetapi bersama Jungkook definisi bahagia itu seperti punya anak cucu; lebih dari.

"Kenapa?"

Lisa menunduk. "Kenapa, apa?"

"Kukira kita akan selesai."

"Kauingin begitu?"

Jungkook bungkam beberapa saat. Ia lantas melengak, mengambil alih sorot mata Lisa. "Apalagi kebohongan yang kau tabur di atas pernikahan ini?" Ia tidak sanggup untuk melanjutkan tanda tanya Lisa pada percakapan belakang, maka dari itu akan jauh lebih baik kalau ia mengoper topik ke penjuru lain.

Keingintahuan Jungkook mengenai banyak hal memang selalu dia tolak mentah-mentah. Dia tidak ingin melibatkan Jungkook lebih jauh ke dalam hidupnya. Dahulu, memang begitu.

Pernikahan yang dia jalani beralaskan kebohongan, di mana rahasia-rahasia telah tertanam sejak lama pada ikatan yang tak seberapa kuat ini. Satu kebohongan menghancurkan Jungkook serta rasa percaya lelaki itu terhadap segala hasil lisan yang dia punya. Jadi dia rasa, menyembunyikan; menutup-nutupi sesuatu bukan lagi jalan yang akan dia pilih dalam menghadapi semua ini. Dia memiliki Jungkook; dia punya rumah untuk pulang; dia memiliki pundak untuk bersandar. Kebohongan tentu membuatnya aman di awal, tetapi benar-benar sungguh keparat bila terbongkar. Jujur merupakan satu-satunya pilihan yang dia punya.

Dia menempatkan diri di depan Jungkook. Meraih tangan sang suami untuk digenggam sebagai pegangan. "Kau mau 'kan memercayaiku sekali lagi, Gguk?" Guratnya tampak ragu, tetapi harapan-harapan tergaris konkret di urat-urat wajah Jungkook yang kemerahan.

[✓] BLURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang