Blur | 1

1.6K 172 26
                                    

Setiap bibirnya terbuka, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari sana. Hanya suara isak-isak lirih yang terkadang tak sengaja jadi instrumen di pagi hari kala itu. Musim dingin seakan menjadi temannya yang paling loyal di tengah-tengah pengkhianatan.

Dia mengeratkan mantel bulu, melirik sejenak kerumunan orang yang berbondong-bondong memenuhi pelataran rumah yang dibuka untuk umum pada hari itu.

"Maafkan aku, Kak."

Lisa meninggalkan areal perumahan dengan langkah tergesa-gesa. Menjadi seorang anak dari pasangan yang punya andil besar dalam perekonomian serta tulang rusuk di kota kecil yang ada di Korea Selatan membuatnya tak banyak dapat ruang kosong untuk bergerak tanpa pengawasan lensa kamera para wartawan. Merasa terkekang, iya. Dia butuh kebebasan. Dengan begitu, kelab malam yang ukurannya tak bisa dibilang megah adalah rumah kedua bagi seorang Jehanne Lalisa. Tempat pelariannya dari hiruk-pikuk kota yang terasa mencekik kepribadian, mengubahnya jadi kucing peliharaan yang seakan tak punya sifat autentik sama sekali. Hanya patuh pada apa-apa yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya. Alibi yang selalu dijabarkan pelan-pelan oleh kedua orang tuanya ketika dia sudah bertanya-tanya tentang alasan mengapa tak boleh ini dan itu adalah karena dia wajib menjaga nama baik keluarga besar.

Omong kosong.

Memangnya, apa itu nama baik? Apa dengan bersikap sopan di depan umum saja tidak cukup? Lisa tak akan pernah tahu kenapa kedua orang tuanya sangat melarang dia dan sang kakak punya hubungan dengan lawan jenis beda stratum ekonomi. Ketika lagi-lagi Lisa bertanya alasannya, maka jawaban yang sama akan terlontar; demi menjaga nama baik keluarga mereka.

Lisa mendaratkan bokong ke atas kursi kayu sebuah kafe kecil yang terletak di ujung kota. Tujuan utamanya bukan kafe usang ini, tetapi kelab malam tempat dia melepas penat. Namun, untuk beberapa alasan yang tak dapat dia jelaskan secara transparan, hari ini sampai beberapa hari ke depan—yang entah kapan—dia tidak bisa ke sana walau hanya sekadar untuk menyapa teman-teman saja.

Masker hitam diturunkan hingga tampakkan bibir yang serona ceri itu ke permukaan. Tudung kepala yang juga punya warna pekat tetap di tempat, tak terlepas untuk lindungi identitas—sebagai bentuk kewaspadaan dini sebenarnya.

Aroma roti yang baru saja keluar dari kotak pemanggang tiba-tiba memenuhi indra penciuman Lisa pada pagi itu. Kafe kecil yang dindingnya dominan putih tampak sepi. Tak banyak pegawai di sini. Bahkan, menurut Lisa, hanya seorang nenek tua saja yang mengurus kafe ini sendirian—anggap saja si nenek mandiri dalam mengelola kafe.

Dering telepon membuyarkan lamunan Lisa yang mencoba jabarkan suasana kafe. Dia berdecak tapi tangannya tetap bergerak untuk raih benda persegi itu dari dalam saku mantel.

Lisa menarik napas panjang. Saatnya bermain.

"Halo, Bu?"

"Kau ke mana saja, Lice? Ayo, pulang! Ibu tahu kau sedang berduka tapi jangan lupakan acara pernikahanmu dan Jungkook."

Lisa mengulum senyum. Mengangguk kecil tatkala manik matanya menampilkan profil seorang nenek bercelemek merah jambu menyerahkan segelas green tea latte ke atas meja. Lisa menyusuri bibir gelas yang masih produksi kepul panas serta aroma green tea dengan bibir yang merekah. "Iya, Bu. Aku akan segera pulang."

"Jangan berlarut-larut memikirkan semua ini. Kau tidak boleh stres hanya karena masalah sepele seperti ini, Lice."

Lisa lagi-lagi mengulum senyum. "Iya, Bu."

"Anak itu memang selalu merepotkan. Ingat, jangan terlalu memikirkannya. Biar Ibu dan Ayah yang urus semua. Cepatlah pulang."

"Iya, Bu."

[✓] BLURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang