Suara hentakan kakinya penuhi penjuru lorong menuju ruang utama. Lisa tumpahkan kekesalannya yang bertunas dengan menekan alas kaki pada lantai. Emosi-emosi yang membayangi dapat dibaca jelas tanpa ada pengulangan di bagian-bagian tertentu, entah itu kesal, marah, dongkol—semua terbaca jelas hanya karena suara sepatu Lisa menekan lantai seperti tengah menginjak dada pembunuh kejam, Lisa injak lantai tak berperasaan walau sudah tahu kalau lantainya tidak akan meringis kesakitan, lantai itu benda mati dan Lisa tahu itu. Dia cuma mencoba lepaskan letup-letup kedongkolan yang banjir tumpah ruah karena Jungkook sekonyong-konyong mengajaknya ke sebuah tempat berbau lembar buku.
"Aku tidak bilang kalau setuju kerja di tempat seperti ini!" Lisa cekal tangan Jungkook yang hendak potek kenop pintu. "Aku tidak mau bekerja di sini!"
"Astaga, aku hanya ingin menemui temanku di sini, Lis." Jungkook memijit pangkal hidungnya. "Supaya dia mau membantumu belajar menulis naskah. Ini juga mempermudah jalanmu untuk menerbitkan buku, tahu!"
Lisa menirukan gaya Jungkook bicara, setengah hati kesal, setengah hati berpikir kalau yang Jungkook lakukan tak sepenuhnya salah. Hei, tapi gengsi selangit dia bicara perihal kebenaran Jungkook yang cuma setitik, biar saja, tidak usah katakan pada si Kwon kalau dia setuju dengan rencananya.
Jungkook mengurungkan diri untuk memutar kenop ruangan. Ia memutar tubuh sampai dapat menatap air muka Lisa yang ditekuk masam seperti buah belum matang. Lice tidak pernah menampilkan ekspresi lain, selain tersenyum—gambarkan betapa Lice begitu halus, lemah lembut, dan perhitungkan penilaian visualisasi lebih dahulu daripada kebebasan berekspresi. Berbeda, berbanding terbalik dengan Lisa. Jungkook pelan-pelan temukan sejumput pembeda dari kemiripan Lisa dan Lice kendati butuh waktu yang cukup lama.
"Apa?!" Lisa bersungut geram, tangannya terlipat di depan dada. Untung lorong yang mereka lewati tadi cukup sepi—jarang ada karyawan yang lalu-lalang ke sana kemari, hanya beberapa kali. Jadi, Lisa tidak takut untuk bertingkah selayaknya Jehanne Lalisa, bukan lagi sembunyi-sembunyi di balik nama sang kakak, Jane Lalice.
Jungkook mengerutkan alis. "Bersikap baiklah, jangan permalukan aku karena Lice yang asli tidak akan pernah berlaku aneh sepertimu."
"Aneh, katamu?" Lisa layangkan satu cubitan pada bagian samping perut Jungkook. Teksturnya memang keras, tetapi dia yakin kalau si Kwon itu tadi mengeluh lirih. "Wanita sepertiku ini langka. Lain kali, hati-hati kalau bicara."
Jungkook enggan menanggapi lebih lanjut. Ia memotek kenop, menyembulkan kepala guna memantau apakah orang yang ia cari sedang duduk di kursi atau malah sedang pergi. Seusai temukan entitas dengan surai jelaga tengah menunduk tatapi layar laptop seperti orang mati tapi dengan mata terbuka, Jungkook segera masuk begitu saja tanpa ketuk-ketuk manja lebih dahulu di permukaan pintu.
Lisa merotasikan dua bola mata. "Cih, tidak sopan." Dia mengikuti langkah Jungkook masuk ke dalam ruangan, air mukanya diubah menjadi setenang mungkin. Tak lupa aksen manis khas Lice—senyum tipis.
Orang yang dimaksud Jungkook itu lantas mengangkat pandangan dari arah laptop menuju Jungkook. Seketika bibirnya menerbitkan senyum. Ia bangkit dari kursi, menghampiri Jungkook dan memeluk sang teman—tak memperhatikan Lisa yang sudah berdiri di belakang tubuh tegap Jungkook.
Sambil menepuk-nepuk punggung Jungkook, ia berkata, "Kau harusnya kabari aku dahulu kalau mau ke sini."
Jungkook tertawa. "Memangnya kenapa, Hyung? Kau mau menyuguhkan apa?" Ia mengurai pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] BLUR
RomanceJungkook dan Lisa dipertemukan untuk saling mengisi; melengkapi bagian yang rumpang, memperbaiki apa-apa yang perlu direnovasi. Tuhan merampai mereka dengan sebuah simpul pernikahan. Namun bagi keduanya, simpul yang tengah mereka pintal tak lebih da...