Blur | 9

609 93 6
                                    

"Pengacara Kwon memang selalu begitu kalau sudah terlalu banyak menghabiskan waktu bersama kasus-kasus berat."

Obrolan Seokjin dan Lisa dibenarkan oleh dokter pribadi Jungkook yang tampak sudah bersiap-siap untuk beranjak pergi.

Lisa mengukir senyum sebagai salam terakhir sebelum dokter Jungkook benar-benar menghilang dari balik pintu utama hingga menyisakan dia dan Seokjin saja. Omong-omong, tepat saat dia kesusahan hendak menurunkan Jungkook dari dalam mobil, kemunculan Seokjin di balik pagar rumah jadi angin segar tersendiri bagi dia. Jadi sebagai balas budi, dia mempersilakan Seokjin duduk dan melayani lelaki itu bercakap-cakap sepanjang dokter memeriksa keadaan Jungkook.

"Ah, iya." Seokjin mengganti posisi duduk agar dapat menatap Lisa ketika berbicara. "Aku sudah baca tulisanmu yang kau kirim dua hari lalu melalui surel. Dan ... aku suka dengan ide yang kau tuangkan ke dalam tiap tulisanmu, Lice."

Mendengar panggilan Lice yang baru saja Seokjin sebutkan membuat hatinya terasa ... tidak tahu, dia sendiri tidak dapat mendeskripsikan mengapa akhir-akhir ini sering sekali mudah tersulut emosi. Padahal hanya karena masalah sepele, semua itu bisa jadi penyebab kemarahan yang meledak-ledak. Contohnya seperti pernyataan cinta Jungkook tadi.

Lisa umbar senyum manis sembari merespons, "Aku masih tahap belajar. Itu juga berkatmu yang selalu berusaha menjaga komunikasi dan mengajariku walau tidak sering bertatap muka."

Seokjin hanya tanggapi jawaban Lisa dengan tawa ringan. Mendengar suara tawa Seokjin yang halus membuat hati Lisa bergetar. Hal yang wajar bagi Lisa jika merasakan sensasi aneh berada di dekat Seokjin, jadi dia tidak perlu terlalu berlebihan menanggapi reaksi ini.

Suasana mendadak hening. Di mana sepi datang sekonyong-konyong membawa rombongan desir angin di musim dingin. Di luar, es masih membeku. Lisa pikir keadaan senyap begini bisa disamaratakan dengan bongkah es di luar sana, sebab, hei, ini sungguh dingin. Dia tidak terbiasa diam dalam jangka waktu yang lama, apalagi dipeluk canggung seperti sekarang.

"Terkadang aku melihat Lisa dalam dirimu."

Tubuh Lisa kontak menegang. Bagai kilat di tengah hujan badai, perkataan Seokjin menghantam keberanian Lisa hingga tandas. Sebagai sosok Lice, menanggapi dengan senyum lebar adalah satu-satunya jalan yang saat ini dapat menyelamatkan identitasnya.

Seokjin melempar tatapan ke langit-langit ruangan. Menitikberatkan fokus pada lampu gantung rumah Jungkook sembari memutar kejadian lampau yang tak akan pernah bisa ia lupakan dengan mudah. Lantas senoktah senyum muncul di bibir ketika bayangan wajah memerah seseorang muncul secara acak pada pupil matanya. Memang, penyesalan selalu di akhir.

"Aku tidak terlalu mengenal Lisa," kata Seokjin, melayangkan tatapan pada istri sahabatnya sebagai bentuk kesopanan. "Namun aku yakin kalau wanita itu jarang sekali tersenyum, berbeda denganmu."

Lisa tundukkan kepala, tatapi lantai rumah Jungkook yang menampilkan refleksi wajah pucatnya. Tenang, dia harus tenang. Memberanikan diri untuk melanjutkan konversasi bersama Seokjin dengan berujar, "Kami memang serupa, tetapi banyak orang bilang bahwa kami ini bertolak belakang."

"Kehidupan Lisa berporos pada kesialan, tetapi tekadnya untuk maju adalah lentera mungil yang akan membawa wanita itu ke jalan yang tepat." Seokjin memberi senyum di akhir kalimat.

"Aku—harus melihat Jungkook di kamar. Maaf sekali, bisakah kita lanjutkan pembahasan tadi di lain kesempatan?"

"Tentu," balas Seokjin. Pria itu bangkit dari sofa untuk segera membungkukkan badan secara formal kepada Lisa. "Aku kemari hanya untuk menyampaikan bahwa tulisanmu sudah pantas untuk diperjualbelikan. Jadi, kau tidak perlu merasa tidak percaya diri lagi. Kau itu penulis berbakat, Lice."

[✓] BLURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang