Blur | 5

750 119 10
                                    

"Apa kaupikir pernikahan ini tampak main-main, Lis?"

"Entahlah. Aku hanya berpikir bahwa setelah keinginan kau dan aku sama-sama tercapai, kita harus akhiri ini secepatnya."

Lisa menyandarkan tubuh pada pembatas balkon. Rambutnya dibiarkan terurai, bergelombang tak beraturan karena tak sempat pergi ke salon kecantikan seperti saat menjadi Lisa si anak pembangkang orang tua. Hanya untuk merawat rambut, Lisa rasa itu tidak berlebihan, jadi dia menurut saja. Di tangannya secangkir latte—Jungkook belikan selepas lelaki itu keluar menemui rekan kerja—sudah nyaris tandas. Tubuhnya hanya berbalut baju berbahan tipis. Dia kedinginan, tetapi sejauh ini dia masih menikmati cara udara dingin menyapa epidermisnya. Bola mata Lisa menyorot Jungkook yang duduk di atas ranjang sembari bersedekap.

"Apa kau memikirkan apa yang sedang kupikirkan, Lis?" tanya Jungkook.

Lisa mengedik. "Kurasa, tidak. Aku sedang tidak memikirkan apa-apa."

Utas senyum Jungkook keluar di pagi hari. Bukan semacam senyum karena merasa bahagia atau bagaimana, tetapi hanya mencoba merasai ulu hatinya yang terasa diremas-remas. Tidak tahu, ini terasa ganjil, berlebihan, dan sedikit ... sakit? Entah, ia tidak mau memikirkannya lebih lanjut. Ia berdeham, mengusir pemikiran lain dari otak. Tatkala ia melihat Lisa yang bersandar pada pembatas balkon, ia cukup tahu bahwa wanita itu memang sangat cantik dan ... oke, termasuk 'panas'. Ia lekas meraih ponsel dari atas ranjang. Mengarahkan lensa kamera ponsel tersebut pada Lisa yang kelihatan mengerut tak suka.

Jungkook menengok sedikit dari balik ponsel. Ia mengedipkan salah satu mata ketika Lisa terlihat hendak melayangkan protes. "Hei, aku belum memamerkanmu pada siapa-siapa. Jadi, ayo berpose dan aku akan tunjukkan kalau pernikahan ini memang asli—walau tidak begitu, sih."

Lisa merotasikan bola mata sejemang, sebelum menuruti perintah Jungkook dengan berpose layaknya Lice yang feminim ketika mengambil jepretan foto.

Satu kali.

Dua kali.

Lima kali.

Tidak terhitung.

Lisa tertawa saat Jungkook menghampirinya dan menunjukkan hasil jepretan di tengah salju yang turun secara perlahan.

"Astaga, aku mirip sekali seperti Lice di foto yang satu ini." Telapak tangan Lisa bertumpu pada pundak Jungkook, sedangkan salah satu jari telunjuknya mengarah pada layar ponsel sang suami.

Jungkook mengangguk setuju. Ia menatap Lisa. Tersenyum, lalu berkata, "Tapi aku lebih suka gayamu sendiri. Lebih alami saja, kurasa."

Lisa mengerjap. Astaga, jantungnya lagi-lagi berpesta di dalam sana. Dia segera menjauh dari Jungkook, mengambil cangkir latte yang dia letakkan di meja kaca bundar yang terletak di sana. Menatap apa saja, yang penting bukan mata Jungkook. Dia seakan kehabisan oksigen dan lupa cara bernapas saat Jungkook menatapnya sedemikian rupa.

Jungkook mengunggah salah satu foto Lisa pada akun media sosialnya. Setelah lakukan itu, ia segera menjauh dari Lisa. Berjalan menuju ranjang dan menghempaskan tubuhnya ke atas sana. Waktu berlibur sudah habis. Hari ini, ia wajib pergi ke firma tempatnya bekerja. Ia sudah mendapat banyak sekali pesan masuk dari klien dan itu harus segera ditangani, sudah tanggung jawabnya untuk memberikan bantuan hukum kepada klien.

Lisa bergerak menuju Jungkook. Namun sebelum itu, dia tutup pintu balkon agar suhu di dalam kamar tetap terjaga kehangatannya. Penghangat ruangan Jungkook semuanya punya harga selangit, jadi antara khawatir dan tidak, sih—takut kalau kamarnya akan terasa sama dingin dengan suhu luar tapi dia juga merasa bahwa tidak mungkin penghangat ruangan mahal milik Jungkook malfungsi.

[✓] BLURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang