Blur | 16

479 81 10
                                    

Pada dingin, dia persembahkan kesetiaan yang dibungkam pengkhianatan. Seluruh sekon-sekon yang terdedikasi atas nama keadilan dia abdikan kepada Tuhan, dia korbankan perasaan. Di mana tangis tiap malam dibarengi penyesalan merongrong hingga tak tahu aturan. Lisa bersemayam sendirian dalam kekalutan. Dia sendirian, tidak ada siapa-siapa yang mau menggantikan.

Halimun teh di dinding-dinding cangkir loyal temani lamunan Lisa yang enggan berbondong-bondong meninggalkan tempat. Di hadapan sudah duduk Jungkook yang juga terdiam, Lisa tak ambil pusing tentang Jungkook. Sekarang dia merasa bimbang, tak tahu kenapa akhir-akhir ini perasaannya sering goyah kendati angin tidak kencang mengusap atma seperti lalu-lalu.

Tadi, sebelum angkat kaki dari ruangan Jisoo, dia sempat terlibat percakapan singkat dengan Seokjin. Perdebatan kecil yang dahulu dia rangat-rangat sebagai kerikil paling manis dalam sebuah jalinan, tak lagi terasa demikian tatkala pesan singkat yang Jungkook kirimkan lebih menggugah hati untuk menjauhkan diri. Tanpa basa-basi, dia meninggalkan Seokjin. Tidak ada kata maaf seperti saat dahulu pertengkaran kecil menelungkup di atas hubungannya, dia malah membiarkan masalah ini jadi berkobar. Lantas, apakah dengan ini dia tetap keras kepala mengatakan bahwa emosi; hati; afeksi yang dia miliki masih beratasnama Seokjin sang kekasih hati? Sekarang, Lisa mulai sangsi.

"Ibumu meneleponku lagi."

Volume stabil dari titik-titik puncak vokal Jungkook menghentak kesadaran Lisa sampai ke dasar bumi. Perempuan itu mengangkat wajah dari pandang intens meneliti cangkir. Kemudian dengan kilat memberi respons, "Ibu mengatakan apa?"

Belum menjawab pertanyaan Lisa, ia bangkit dari kursi kuasa. Menghampiri sang istri yang tampak berbeda duduk di hadapannya. Ia menyoja punggung hingga ujung dagu tepat mencium puncak kepala Lisa.

"Ibu ingin meminta bantuanku." Cuping hidung Jungkook curi sederet aroma manis dari kulminasi helai rema jelaga berponi sang istri. Lima jemari bagian kanan mengusap pundak tegang Lisa dengan gerakan pelan. Ia menyinambungkan, "Perkara Ayah dan nama baik keluarga. Menurutmu, apa aku harus membantu mereka, Lis?"

Jungkook dapat merasakan pundak Lisa bergerak turun bersamaan dengan hela napas dibuang kasar ke ruangan.

"Perkara apa?" Lisa bertanya dengan nada ketus tanpa embel-embel cantik seperti biasa. "Anak-anak kecil yang tinggal di sana?"

Jungkook mengecup kepala Lisa sebagai pembenaran.

Lisa membuang napas kasar, lagi. Satu tangannya merangkak naik, menyentuh pipi Jungkook yang terasa hangat. "Akan kuceritakan sesuatu padamu, kuharap kau mau mengubur ini hanya bersamaku, Kook," tutur Lisa seraya menengadah untuk mengecup lekum sang suami.

Jungkook sempat keliru menaruh atensi hingga tak sadar menimbulkan bercak kemerahan malu-malu di sepasang pipi. Ia berdeham sebentar, lalu menganggukkan kepala. "Bicara di sofa saja." Ia meletakkan lima jemarinya pada sela-sela jemari lentik Lisa; mengantar sang wanita pada sofa jelaga.

Jungkook dan Lisa duduk berbanjar. Tidak saling tatap, sebab Lisa tahu dia tidak akan kuat. Jari-jari masih saling membelit untuk beri sekelumit forsa kinetik. Kepala Lisa gugur pada perpotongan leher Jungkook, demikian pula yang dilakukan Jungkook pada kepala Lisa—menyerahkan beban kepalanya pada kepala Lisa.

Kosong, suara tidak terproduksi dari pita satu atau dua, bahkan dua-duanya. Mereka terdiam cukup lama untuk cerna kejadian yang ada, tenggelam lena berdetik-detik tak terasa dalam kesunyian yang menggelora. Hingga, vokal bergetar Lisa menyadarkan Jungkook bila ujung jarum jam dinding sudah berpindah angka.

"Aku benci Ayah dan Ibu sejak dahulu."

Pembukaan yang cukup berat. Namun, Jungkook tidak berusaha mengisi spasi pada suara Lisa yang terhenti. Ia mengambil peran sebagai pendengar baik, jadi dengan setia mengusap punggung tangan Lisa yang tergenggam menggunakan ibu jari adalah manifestasi penantian yang tengah ia lakukan.

[✓] BLURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang