"Sayang, Mama dan Papa ke rumah sakit dulu. Melisa baik-baik yaaa di rumah." Mama Melisa menunduk sambil mengelus pipi Melisa yang basah oleh air mata.
Melisa memandang wajah mamanya sambil berharap Mama tidak jadi meninggalkannya di rumah nenek bersama Bi Ijah, tetangga nenek yang setiap hari datang untuk membantu pekerjaan rumah.
Seminggu lalu keluarganya dikejutkan oleh bunyi telepon saat tengah malam. Nenek jatuh di kamar mandi, dan dilarikan ke rumah sakit.
Melisa masih ingat betapa kalut wajah Papa saat menyetir. Bayangan hitam jelas di wajah Papa. Melisa belum mengerti soal perasaan orang dewasa. Ia hanya tahu Papanya seperti menahan tangis, seperti yang biasa ia lakukan setiap Mama memarahinya ketika ia nakal.
Tapi Papa bisa menahan air matanya. Melisa tidak.
Sejak itu Melisa harus tinggal di rumah nenek ditemani Bi Ijah, sedangkan Mama dan Papa ke rumah sakit mengurus nenek.
Menjelang siang Mama pulang menemaninya makan sambil mengambil beberapa keperluan di rumah sakit, lalu berangkat lagi hingga malam.
Melisa duduk memandang ke luar jendela sambil menahan kantuk, berdiri secepat kilat saat melihat cahaya lampu mobil. Berharap mobil Mama dan Papa memasuki pekarangan rumah nenek.
Namun setiap kali penantiannya selalu saja kalah oleh rasa kantuk. Melisa tertidur di sofa dan bangun di kamar keesokan paginya. Entah kapan Papa menggendongnya ke kamar.
Lalu ia bangun hanya demi mendapati Mama dan Papa sudah siap-siap berangkat ke rumah sakit lagi. Seperti pagi ini. Dan Melisa sudah cukup merasa muak.
"Melisa mau ikut! Kalo tidak, Mel pulang ke rumah aja!" rungutnya.
"Lho kok gitu anak Mama? Mel sudah besar lho, Sayang. Gak baik ah!" Suara Mama memang lembut, tapi mengandung ketegasan yang sulit untuk dibantah.
"Sore ini Om dan Tante Rahel datang lho."
Melisa tersentak, "Kakak Candy ikut Ma?"
Mama tersenyum, "Ikut dong. Kakak Enzo juga datang."
Melisa mendengus. Ia tak begitu menyukai Kak Enzo. Lain dengan Kak Candy yang suka mengepang rambutnya, mengajaknya bermain boneka atau rumah-rumahan, Kak Enzo selalu mengganggunya. Menarik rambutnya, mencium pipinya terlalu keras, atau mencubit pipinya.
Mama seakan bisa membaca pikiran Melisa, ia tertawa kecil, "Yang akur ya sama kakak-kakaknya. Apalagi sama Kak Enzo tuh."
"Ah, Kak Enzo nakal." bibir Melisa mengerucut, jemarinya menarik-narik kuping boneka puppy-nya.
Akhirnya, Mama dan Papa berangkat juga. Bi Ijah sibuk di dapur. Melisa kembali ke tempat favoritnya di atas sofa menghadap ke jendela.
Wajah mungilnya menempel di teralis, vitrase sudah ia sibakkan. Ia memandangi halaman, ada pokok jambu air yang sedang berbuah lebat sekali. Warnanya merah dan kelihatan sangat menggiurkan. Melisa berharap sekali saja Papa pulang siang, ia mau minta diambilkan jambu itu.
Tiba-tiba kupingnya menangkap suara anak-anak yang ramai, mereka berjalan ke arah pekarangan nenek sambil menunjuk-nunjuk jambu air yang bergantungan menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY GUARDIAN ANGEL
RomanceMelisa sudah berpacaran dengan Bentala Bumi selama 3 tahun. Namun keputusan Ben untuk melanjutkan study ke Aussie membuat Melisa patah hati. Di awal perkuliahan sebagai mahasiswi baru, Melisa bertemu Tobi Jaya Amerta, seorang dokter yang sedang meng...