43

118 8 0
                                    

Apa yang lebih kuat
dari cinta yang dewasa?

Apa yang lebih rapuh
dari kepercayaan sehari?

Melisa turun ke lantai bawah untuk makan malam setelah mendapati Tobi tidak ada di kamar mereka.

Di ruang makan terlihat Nenek duduk di kepala meja berseberangan dengan Om Fadli. Di sampingnya, Tiffany sedang sibuk menyendokkan nasi ke piring-piring, sedangkan Theo dan anak-anak Om berebutan paha ayam goreng sambil cekikikan.

Melisa duduk di samping Nenek saat Tante keluar dari dapur membawa sepanci sayur yang mengepulkan uap panas. Matanya mengitari meja, Tobi tak terlihat di manapun.

"Tobi kemana, Tiff?" Melisa berbisik kepada Tiffany yang duduk di seberangnya. Ia takut Tobi mendengar kalau ia sedang mencarinya. Tiffany hanya angkat bahu dengan cuek.

"Kamu ini sama suamimu kok manggil nama!" suara Nenek tiba-tiba menyurukkan Melisa di kursinya. Ia hanya menjawab Nenek dengan senyuman kecil di wajahnya.

"Emangnya harus manggil apa, Nek?" sambar Tiffany.

"Panggil kakak, mas, ayah, papa..."

"Hahahaha!" Tiffany tertawa sampai memegangi perutnya sedangkan Melisa melotot ke arah adik iparnya itu. "Kakak? Ntar dikira orang Melisa itu adiknya Kak Tobi! Terus ayah? Papa? Geli banget! Kan mereka belum punya anak, Nek! Hahaha!"

Melisa mengernyit. Tiffany sungguh-sungguh tahu kenapa Melisa sangat janggal memanggil Tobi bagaimana. Sewaktu kecil ia memanggil Tobi kakak, karena dia menganggap Tobi sebagai kakaknya. Tapi sekarang?

Nenek menepuk pundak Tiffany, "Kamu juga! Harusnya manggil Melisa itu kakak, meskipun dia jauh lebih muda darimu! Dasar orang kota, gak tau sopan santun!"

Mulut Tiffany langsung menutup manyun setiap Nenek mengomelinya begini. Sedangkan Melisa hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Panggilan saja  repot urusannya, apalagi jika mereka tau hubungannya dengan Tobi yang sungguh rumit seperti benang kusut? Melisa menghela nafas berat.

"Ingat, hormati suamimu!" Nenek menunjuk Melisa dengan telunjuknya, menasehatinya, lalu menoleh ke arahTiffany dengan gaya yang sama, "Kamu juga harus hormati kakak iparmu! Anggap dia pengganti mamamu!" Tiffany melirik Melisa sedetik lalu menunduk mengiyakan Nenek.

"Aku tau perjuangan Tobi sejak kecil." lanjut Nenek, "Walau aku sudah tua, tapi aku tau apa yang dilalui anak itu. Papa mertuamu tak berani berlama-lama pulang karena dia takut akan melukai anak-anaknya!"

Melisa menahan napas mendengar kata-kata Nenek. Tiffany dan Theo menegang seperti boneka yang habis baterai. Suasana ruangan muram seketika.

"Semua beban terletak di pundaknya." Nenek menepuk-nepuk pundaknya sendiri, "Dia yang mengurus kalian dari kecil, dari bayi. Sampai kalian besar begini, semua karena kakakmu Tobi. Jadi jangan sampai kalian menyakiti hatinya!"

Tiffany dan Theo menunduk. Wajah mereka mendung seperti menahan airmata. Sungguh mereka gak akan bisa lupa setiap pengorbanan dan perjuangan yang Tobi lakukan dalam diam.

Terutama Tiffany, dia menyaksikan perubahan kakaknya yang periang hari demi hari hingga jadi sependiam dan setertutup sekarang karena mereka mencuri setetes demi setetes kebahagiaan yang tersisa dalam hidupnya.

"Dan kamu, Melisa! Jangan keras kepala. Lembutlah sedikit pada suamimu. Bertahun-tahun dia hidup dalam kepahitan. Kaulah yang bisa membahagiakannya. Nenek berharap banyak padamu." Nenek memegang tangan Melisa tanpa disangka-sangka membuat Melisa sedikit tersentak.

MY GUARDIAN ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang