46

152 9 0
                                    

Sepanjang malam, Melisa tak bisa tidur. Ia merenungkan semua hal yang terjadi dalam hidupnya sejak ia menginjakkan kaki ke kota ini.

Perkenalannya dengan Caleb, pertemuannya kembali dengan Tobi, perjalanan cintanya hingga akhirnya ia menerima cinta Caleb karena merasa kasihan, jatuh bangun yang ia alami sampai musibah yang terjadi pada keluarganya yang membawanya sampai ke titik ini. Melisa telusuri semuanya satu demi satu.

Betapapun ia berusaha mencari pembenaran atas tindakannya, semua kesalahan kembali menunjuk pada dirinya sendiri.

Seharusnya ia tidak menerima cinta seseorang hanya karena kasihan. Seharusnya dia tak mendendam kepada Tobi seperti anak kecil. Seharusnya ia menyelesaikan permasalahan orangtuanya sendiri tanpa harus melibatkan Tobi sampai berujung seperti ini.

Berkali-kali Melisa memikirkan keputusan Tobi tadi malam. Tobi akan membatalkan pernikahan mereka.

Melisa menerima keputusan itu seperti terdakwa yang mendapat putusan hakim. Dan ia menerimanya dengan lega. Dirinya memang pantas dihukum setelah kesalahan yang berkali-kali ia lakukan.

Perkataan Nenek kembali terngiang di telinga Melisa untuk tidak menyakiti hati Tobi. Sudah cukup ia menderita selama sepuluh tahun hanya untuk menerima penderitaan lanjutan dari dirinya. Tidak! Dia harus menghentikannya sekarang juga!

Matahari pagi yang mengintip dari jendela menyilaukan pandangan Melisa. Ia baru sadar kalau dirinya sudah duduk di lantai sejak malam tadi hingga hari sudah terang. Bajunya yang basah karena diguyur hujan tadi malam juga sudah kering di badannya.

Dengan berpegangan pada ujung tempat tidur, Melisa mencoba berdiri. Namun rasa pusing di kepalanya membuatnya terhuyung hingga jatuh ke atas tempat tidur.

Basah semalaman mungkin membuatnya masuk angin hingga meriang dan pusing. Ia ingin tiduran sampai siang saat menyadari kalau Bi Suci dan Mbak Sri yang biasanya bertugas memasak sedang cuti. Sementara Theo harus ke sekolah. Gak ada yang akan menyiapkan sarapan bagi mereka.

Berusaha sekuat tenaga, Melisa bangkit dan menyeret langkahnya menuruni anak tangga satu demi satu. Sedikitpun ia tak menoleh ke pintu kamar Tobi.

Di dapur, Mbak Laras kelihatan mondar-mandir sambil mencoba memasak sesuatu. Area dapur kelihatan sedikit berantakan.

"Non Mel!" Mbak Laras terlihat terkejut melihat Melisa turun dengan keadaan lesu seperti itu, "Muka Non kok pucat begitu?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.

"Gapapa, Mbak." jawab Melisa dengan suara pelan.

"Biar saya aja yang masak kalo Non sakit. Non tiduran aja di kamar."

Melisa menggeleng sambil berusaha tersenyum. Dia masih mampu kalau hanya sekedar menyiapkan sarapan.

Tak bisa dibantah, Melisa mulai memasak dengan perlahan, sekuat yang ia mampu. Ayam goreng dengan tumis brokoli untuk bekal Theo, juga pasta untuk sarapan.

Terakhir kali ia memasak, Theo yang biasanya hanya membawa bekal roti, memuji Melisa karena membuatkannya bekal nasi goreng dengan telur mata sapi. Mengingat itu saja membangkitkan semangat Melisa untuk memasak walaupun seluruh badannya terasa ngilu dan lemas.

"Belum jera juga, heh!" suara Tiffany yang muncul tiba-tiba menyindir Melisa kembali terdengar dari balik meja bar. Sambil tersenyum merendahkan, ia melemparkan tasnya dengan asal ke atas kursi. Diikuti dengan Theo yang menatap keduanya dengan raut penuh tanya. Dia tak mengerti apa yang Tiffany katakan.

Melisa tak menggubris ucapan Tiffany barusan. Dia hanya fokus memasak dengan pandangan yang mulai berkunang-kunang.

"Semalam pertunjukannya seru juga! Sayang gak sempat ku rekam!" sindir Tiffany lagi, kali ini dengan suara yang lantang, "Kau pasti kecewa gak jadi kabur dengan pacarmu itu karena kepergok sama kakakku! Iya kan?"

MY GUARDIAN ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang