Season Ⅱ ⑵ part 3

1.9K 266 30
                                    

Pagi, sering kali membawa sebuah kabar. Bersamaan dengan sinar jingga sang mentari, di pagi hari ini pun Seokjin mendapatkan sebuah kabar jika Jungkook memang mate dari tuan muda Taehyung. Tak dapat diingkari oleh nya, betapa dirinya sangat bahagia saat mengetahui bahwa Jungkook adiknya telah menemukan pasangan sehidup semati. Seokjin berharap, Jungkook dan tuan mudah Taehyung dapat berbahagia disana.

Ibunya pun kini dapat keluar dari rumah majikannya dan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan rumah yang lebih besar dengan ladang pertanian yang sudah memiliki pekerja sehingga Seokjin dan ibunya tak perlu repot-repot turun ke ladang untuk mengurus tanaman. Walau begitu, Seokjin tetaplah seorang kakak yang sedih ketika berpisah dengan sang adik. Ia merasa sangat kesepian di rumah sebesar ini, ibunya pun masih akan keluar rumah hanya untuk membantu para pekerja menggarap ladang.

Hanya anak-anak didiknya lah yang dapat mengobati rasa rindunya pada Jungkook. Hatinya terasa hampa tanpa kehadiran sosok bergigi kelinci kesayangannya itu, apalagi hari-harinya sangat monoton karena ketiadaan suara tawa nyaring Jungkook. Yang bisa Seokjin lakukan saat ini adalah menyibukkan diri dengan mengajar anak-anak seperti biasa dan menghabiskan waktu di perpustakaan desa seharian. Hanya itu, dan harinya akan berlalu bagai sebuah angin.

Ini bahkan baru semalam. Dan Seokjin tak membayangkan bagaimana hari-hari yang menemani dirinya berkelana di tempat yang sama. Mungkin akan terasa mencekik dan mencekam.

"Seokjin." Panggilan lembut dari Nara terabaikan karena sang anak sedang melamun, menatap keluar jendela perpustakaan tempatnya mengajar. Nara menghela napas, ia berjalan perlahan mendekati Seokjin dan mendudukkan diri disamping sosok sang putra. "Seokjin, ayo pulang. Sudah siang nak, mau sampai kapan kau berdiam diri disini?" Menyentuh bahu Seokjin, Nara sebagai ibu khawatir akan keadaan anaknya yang kini pendiam dan semakin sensitif jika disinggung dengan status omega pria nya yang sekarang adalah satu-satunya omega tertua yang ada di desa.

Masih memilih diam, Seokjin menempatkan kepalanya di bahu sang ibu dan mengigit bibirnya yang kering. Ia merenungkan segalanya, apa salah jika dirinya masih belum memiliki mate? Lagipula usianya masih 26 tahun, tidak terlalu tua bukan? Tapi mengapa banyak orang yang menggunjingnya berpikir bahwa dirinya tak memiliki mate atau mate nya mungkin sudah meninggal.

Berulang kali Seokjin berusaha menampik hal tersebut dan memperkuat dirinya dalam mengahadapi ujaran mulut para orang-orang desa yang menanggapinya. Namun inilah batasnya, ia tak lagi bisa berpikir jernih setelah adiknya sendiri pergi dan bertemu mate nya. Tinggal Seokjin seorang dan ia lah yang menjadi perbandingan orang-orang sebagai contoh buruk.

Jika boleh, Seokjin akan menikahi Jaehwan. Seorang guru yang juga mengajar di perpustakaan desa, tapi hanya beberapa hari. Setelahnya Jaehwan memutuskan untuk mengajar para lansia yang buta huruf di sebuah rumah khusus lansia yang lumayan jauh dari rumah maupun perpustakaan tempat Seokjin mengajar. Mereka hanya saling kenal namun dapat Seokjin rasakan jika Jaehwan maupun dirinya saling menyukai walau itu tidak dibenarkan bagi seorang alpha dan omega yang tidak memiliki ikatan mate.

Seokjin bergerak menegakkan tubuhnya dan menyeret pandangannya untuk menatap sang ibunda yang setia menunggu dan tersenyum untuk nya. Terkadang ia merasa jika dirinya tak berguna sebagai seorang anak karena ibunya harus harus tetap bekerja karena penghasilannya sebagai guru tak seberapa. Tak lama, Seokjin merasakan sebuah rasa sakit menghantam kepalanya. Ia menggulirkan mata gusar dan berdiri dengan cepat. Rasanya seperti dipukul dan Seokjin pun bingung mengapa ia merasakan hal itu.

Jantungnya berdegup kencang ketika satu nama terlintas di benaknya. "J-jungkook?" Mendengar Seokjin memanggil nama adiknya, Nara mengerutkan dahi bingung dan ikut berdiri di hadapan sang putra dengan tatapan bertanya. "Ada apa Seokjin?" Menggeleng, Seokjin memegang kepalanya yang berdenyut nyeri dan mengusapnya perlahan. Ia memeluk Nara dan menelusup kan kepalanya di ceruk leher sang ibu. "Entahlah Bu, aku merasa Jungkook sedang terluka." Nara menggelengkan kepala dan terkekeh geli mendengar perkataan sang putra. Dirinya merasa Seokjin sangat mencemaskan adiknya dan ia sangat bahagia melihat bagaimana si sulung sangat menyayangi Jungkook. "Tidak, mungkin kau hanya terlalu merindukannya."

Alma Gemela [Namjin] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang