9. Normal Life

1.1K 134 11
                                        

Kembali ke sekolah dengan hiruk-pikuk di mana kerusuhan di kelas sering terjadi serta murid tak patuh akan aturan. Calvin bergegas ke sekolah, Arta masih belum pulang dari rumah temannya. Calvin tak percaya jika Arta memiliki teman yang begitu dekat.

Calvin pergi ke sekolah mengendarai motor matic. Di seberang jalan motornya hampir tertabrak dengan pengendara lain. Calvin membuka helm dan berdecak kesal. Pagi ini sungguh sial.

Dia mempercepat laju kendaraannya. SMA GALAXI terlihat, Fire Angel berkumpul di pintu gerbang, Calvin memberhentikan motornya dekat pohon.

"Ah, elah itu berandal ngapain di depan gerbang sih? Bikin mata sakit aja," gerutu Calvin.

Waktu terus bergulir. Sekumpulan orang itu masih setia berjaga di pintu gerbang. Terpaksa Calvin menerobos masuk, tetapi motornya di stop oleh mereka.

"Berhenti!" Calvin berkeringat dingin.

Wajahnya pucat di balik helm. Dia berhadapan dengan ketua Fire Angel. Calvin meneguk ludah, tak sanggup bersuara.

Tak ada gerakan dia mengerutkan keningnya. "Ada rokok gak lo?"

Calvin menggeleng cepat. Diliriknya lagi jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan, ia melotot horor.

Mampus, pelajaran Bu Sindi.

Calvin merogoh kantong dan menemukan permen kiss mint langsung diberikan padanya. Mesin motor dinyalakan dengan cepat dia masuk ke dalam sekolah. Asap mengepul membuat mereka yang berjongkok terbatuk.

"Wah kampret tuh orang! Ketemu lagi gue kasih pelajaran."

"Pelajaran apakah itu?"

"Tata cara menghormati senior!"

Anak buahnya beroh ria, sedangkan sang ketua menatap datar telapak tangan yang terpampang permen murah. Dia membukanya, dan memasukkannya ke dalam mulut, dia membubarkan pasukan. Mereka bolos.

***

Di rumah tingkat–rusun kota A

Arta sudah berpakaian rapi, mengenakan seragam sekolahnya. Dia duduk tenang di depan teras. Menunggu pemuda satunya yang sedang mandi. Dia menghela napas.

Jarum jam terus berputar, dia bergerak gelisah. Beranjak dari kursi berteriak dari arah luar.

"Cepetan ih! Udah telat tauk!"

"Iya bentar, tanggung nih lagi pake celana. Ah, rese!"

Arta masuk ke dalam kamar, pemuda itu masih sibuk dengan celana panjangnya. Belum lagi kemeja putih yang kancingnya berantakan.

Arta maju ke depan, menarik bajunya. Dia tersentak kaget. Jari-jari lentiknya membantu menyelipkan kancing ke lubang lanjut ke kancing lain. Di antara mereka tidak ada jarak dan tak saling bicara.

Arta menatapnya sekilas. Kembali sibuk mengancingkan bajunya. Terakhir kerahnya. Mata hitam itu menatapnya serius. Arta menundukkan kepalanya. Pemuda itu memanggil namanya. Arta mendongak, seketika matanya membulat. Pemuda itu tersenyum tipis sembari mencubit pipinya dengan gemas.

"Kuy otw!" Dia berjalan duluan.

Arta mengerjapkan matanya, suaranya kembali terdengar dari luar. Arta berbalik badan. Pemuda itu menunggunya di atas motor. Arta mengunci pintu tersebut dan langsung memberikan kunci itu kepadanya. Pemuda itu menerimanya melainkan menarik tangannya mendekat.

"Masukkin ke saku."

Arta mengikuti perintahnya tanpa protes sedikitpun. Mereka meninggalkan tempat tersebut menuju ke sekolah.

***

SMA Harapan 1

Arta diturunkan di gerbang sekolah. Sudah tidak ada murid yang berkeliaran. Pemuda itu membawanya ngebut beruntung rambutnya tidak berantakan karena terlindungi helm.

Pemuda itu mengambil helmnya kembali. "Gih masuk."

Arta mengangguk. Dia berbalik, berjalan cepat ke dalam sekolah. Gerbang tertutup tepat waktu. Arta berhenti, menengok ke belakang. Sosoknya sudah tidak ada. Arta mengecek jam tangan bergegas masuk dalam kelas.

***

Pemuda itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi membelah lalu lintas. Dia tidak bersekolah melainkan bekerja di sebuah cafe dekat Universitas Tri Sakti. Parasnya yang rupawan berhasil menarik pelanggan terutama mahasiswa ataupun anak remaja.

Poin utama menarik perhatian. Dia juga sangat sopan dan ramah kepada semua orang. Dia kebagian shift pagi. Motor diparkirkan dekat pohon dan masuk lewat pintu belakang.

Seorang teman menepuk pundaknya. "Telat lo, tadi rame anjir. Untung gue bisa handle. oiya tadi ada yang nyariin lo."

"Siapa?" tanyanya sambil berganti pakaian.

"Perempuan cantik di meja 12."

Temannya berlalu pergi karena ada pesanan lain. Pemuda itu merapikan rambutnya, mengaca sebentar habis itu mulai bekerja. Dia menyambut para pelanggan serta mencatat apa saja yang diinginkan. Dia pergi ke dapur.

Kembali dengan membawa nampan yang berisikan makanan serta minuman. Dia menaruhnya di meja. Dua perempuan menyapanya, dengan senyuman manis.

Dia membalas senyuman itu membuat mereka menjerit histeris sangking terpesonanya. Pemuda itu sudah terbiasa digilai kaum hawa, ada juga yang secara terang-terangan menembaknya. Mengungkapkan perasaan.

Pemuda itu hanya membalas mereka dengan satu kalimat, "Maaf, kalian bukan tipeku."

Di antara mereka tidak ada yang kecewa ataupum menyesal telah menyukai serta mengangumi sosoknya yang ramah. Pemuda itu mendatangi meja 12. Dari arah belakang terlihat rambut panjang, badan ramping, kulit putih sedang mengotak-atik ponselnya.

Pemuda itu berjalan ke depan menghampirinya dengan raut wajah datar. "Ngapain lo di sini?"

Perempuan itu menoleh, matanya berbinar. Dia berdiri dan langsung memeluknya erat. "Akhirnya kita ketemu."

Sehabis berpelukan. Suasana menjadi hening. Di antara mereka tidak ada yang bicara. Perempuan itu menghela napas.

"Lo gak ada niat kembali? Dan sampai kapan menghilang terus tanpa kabar?" Pemuda di sampingnya tidak menjawab.

"Sebaiknya lo pergi dari sini!"

Pemuda itu berdiri tanpa perasaan mengusirnya. Perempuan itu sudah terbiasa dianggap debu olehnya.

Perempuan itu tersenyum kecut. "Gue selalu berharap lo kembali dan kita bisa kumpul lagi, kenapa harus menyiksa diri sendiri? Gue gak habis pikir sama jalan yang lo pilih."

"Berhenti mengurusi kehidupan orang lain. Lo hanya orang asing dan satu lagi. Enyahlah!"

Pemuda itu meninggalkannya dengan perkataan dingin. Perempuan itu menutup matanya menyembunyikan isak tangis yang sudah keluar dari kelopak matanya.

Dia terisak, hatinya terluka lagi. Pemuda itu sangat keras kepala. Sudah belasan kali membujuknya untuk kembali akan tetapi, semuanya sia-sia.

Haruskah dia menyerah? Perempuan itu mengusap air matanya dengan tisu. Dia berdiri, berjalan anggun dengan senyum merekah mendekat ke arah kasir. Mata mereka bertemu. Pemuda itu membuang muka, kehadirannya sudah ditolak.

Sebelum pergi dia menaruh sepucuk surat di meja lalu keluar dan pergi. Pemuda itu menatap kertas itu tanpa berniat mengambilnya. Masa lampau sudah terlupakan, dan sekarang adalah hidupnya yang baru. Dia pernah menyesal sekali dan tak 'kan mengulanginya lagi.

.....

TBC

Kira-kira perempuan itu siapa ya?
Kenapa ia kekeh membawa pemuda tanpa nama itu pulang?

Ini gak ada yang penasaran kah sama pemuda tanpa nama? Gak ada yang nanya hiks.

💂: Parah emang, cogans gak dikasih nama 😑 Dahlah skip!

Artamevia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang