18. Bersinar Terang

501 69 5
                                    

Badai menatap bangunan di depan sana dengan mata berkedut, serta orang yang berlalu-lalang. Tepukan pundak membuyarkan lamunannya. Dia mengikuti pemuda itu dari belakang.


Pria itu membuka pintu dan melangkah masuk. Badai menengok ke belakang banyak pasang mata yang menatapnya ingin sesuatu. Badai bergegas masuk ke dalam. Ruangan itu tidak besar hanya ada kursi, Hambal serta televisi serta anak tangga. Badai duduk kaku di kursi. Pria itu menengok.

"Di sini ada tiga kamar. Dua di lantai atas dan satu di bawah, di kanan dapur dan kamar mandi. Lo mau tidur di mana?"

"Di mana aja asal bisa dipakai."

Pria itu mengangguk lalu pergi ke lantai atas. Badai mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah. Dia membaringkan tubuhnya di atas sofa empuk dan kembali mengingat hal memalukan tadi. Dia menangis tanpa alasan dan pria itu menenangkannya.

Rasanya seperti mendapatkan rumah untuk ditinggali dan tak berniat pergi ke mana pun. Sangat mencerahkan suasana hati. Badai menutup matanya sebentar lalu membuka karena tepukan itu singgah di pipinya. Pria itu menyuruhnya naik ke atas. Badai mengangguk dan pergi ke lantai atas.

Di sebuah kamar terdapat satu kasur serta lemari di samping. Badai melangkah masuk lalu menengok ke belakang. "Ini kamar punya siapa?"

"Hanya kamar kosong tapi udah gue beresin sedikit. Sekarang kamar ini milik lo. Kalau ada apa-apa kamar gue di sebelah. Ketuk ajah. Oke."

Badai tak bertanya lagi. Pria itu meninggalkannya seorang diri. Badai menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk dia berguling-guling tak jelas. Bau sedap tercium membuatnya nyaman setelah itu pergi ke kamar mandi. Mulai membersihkan diri. Kaki basahnya menginjak lantai berjalan ke arah lemari dan menemukan baju serta celana yang terlipat rapi.

Badai memakainya sebelum itu ia mengendus dan semua pakaian itu masih baru. Apakah pria itu sengaja menyiapkan semua ini? Badai berjalan keluar kamar dan berdiri di pintu sebelah.

Tangannya ragu mengetuk, ia memberanikan dirinya dan terkejut saat pintu terbuka dengan sendirinya. Di balik pintu kepala muncul dengan polosnya memandang pemuda di depannya sambil menautkan alisnya.

"Po-ponsel gue lowbet dan butuh charger. Bisakah gue pinjem sebentar," ucapnya kikuk. Pintu terbuka lebar menampilkan badannya yang bagus dengan otot-otot di sekitar menambah kesan kuat.

Badai memegang dadanya yang bergemuruh seperti kembang api. Dia menggelengkan kepalanya. Pria itu mengambil sesuatu dari bawah laci dan berjalan ke depan dan menyerahkan kabel. Badai menerimanya dan berbalik badan, masuk ke dalam kamar yang ditempati.

Pria itu menutup pintu dan kembali ke kasur, dia menarik selimut dan memasangkan headset-nya yang masih tersambung. Suara di seberang tak terdengar.

"Bey lagi apa?"

"Halo. Em ... abis dipanggil Bunda."

"Begitu kah? Ngapain?"

"Besok malam ada pesta dan aku harus ikut. Malesin tau gak."

"Kenapa gak mau? Kan di sana banyak makanan."

"Hish! Emangnya aku gembel. Kamu lagi apa?"

"Tiduran ajah. Kangen seseorang makanya nelepon."

Orang di seberang berdeham.

"Oh, yaudah deh aku tutup."

"Kok ditutup padahal mau manja-manja lho ini."

"Ekhm, itu ... aku dipanggil Bunda lagi."

"Yaudah, love you ... balas."

"En ... too."

Pip

Pria di dalam selimut bersorak dalam hati. Dia menaruh ponselnya di atas meja. Menutup tubuhnya dan menutup mata, sedangkan orang di seberang berbunga-bunga meski tak terlihat jelas karena dia mampu menyembunyikan intuisinya kemudian bergegas ke bawah menemui Bundanya.

***

From: Ayah
Besok malam harus hadir. Jangan mempermalukanku lagi

Badai menghela napas usai mendapat pesan tersebut. Percuma saja, kehadirannya tidak akan dianggap tapi orang itu selalu menempatkan dirinya di bawah. Badai mematikan ponselnya. Ikut menutup muka berharap semuanya berjalan lancar meskipun dia tak mengharapkan apa pun.

***

Malam Hari

Badai dibangunkan dan sekarang matanya linglung saat melihat makanan yang sudah tersedia di depan matanya. Pria itu memasak untuknya? Apa gimana?

"Ntar juga terbiasa," balasnya singkat.

Badai tidak terbiasa makanan rumah akan tetapi, pemilik rumah berbaik hati mengijinkannya tinggal seharusnya ia cukup tahu diri. Dengan perlahan memasukkan nasi serta lauk ke dalam piring. Dia menatapnya terlebih dahulu, pria itu sudah makan duluan. Badai duduk dengan tegak dan satu per satu memasukkan makanan tersebut ke dalam mulut.

Di meja makan hanya terdengar dentingan sendok, keheningan menyelimuti. Badai selesai duluan, dia membawa piring kotor itu ke dapur dan membantu membersihkan. Pria itu berdiri di sampingnya. Mereka saling bekerjasama membersihkan semua noda yang tertempel.

Mereka duduk di kursi sambil menyetel televisi menonton Opera Van Java sesekali mereka tertawa bersama. Badai meliriknya dan kembali bertanya, "Rumah lo sepi. Ke mana semua orang?"

"Gue tinggal di sini sendirian."

Badai beroh tak melanjutkan pertanyaan. Dia fokus ke televisi sembari tertawa kecil, pria itu menangkap sebuah cahaya yang terpantul dari dalam bajunya. Dia menunjuk.

"Itu apa?" tanyanya sambil menunjukkan jarinya ke arah baju yang dipakai Badai.

Dia menunduk dan mengeluarkan sebuah kalung yang berkilauan. "Oh, ini kalung ...," jawabnya sambil memperlihatkan padanya.

Pria itu memegang kalung tersebut dan terdiam sesaat. "Dari mana lo dapat kalung ini?"

"Sejak gue lahir ... mungkin."

Pria itu mengeluarkan kalung yang sama. Badai ikut terpana dengan kalung yang ditunjukkan. Mereka saling tatap dan tak bersuara. Badai hanya mendengarkan.

"Kalung kita hampir sama dan sepertinya ini bukan kebetulan. Lo nggak akan percaya sama apa yang gue katakan. Tapi ...."

Badai menenggelamkan wajahnya di balik selimut. Baru saja dia mendapatkan sebuah informasi yang mengejutkan. Pikirannya berkecamuk, tentang semua yang dialaminya serta keluarga yang tidak menganggapnya ada.

Sekilas perkataannya terlontar.

"Kita bersaudara, dan terpisah saat lo hilang. Satu-satunya bukti adalah kalung ini ...."

Besok malam Badai harus memperjelas siapa dirinya dan dan fakta yang diceritakan oleh pria tersebut. Badai ragu 'tuk mempercayainya bagaimanapun semuanya belum terverifikasi dengan baik.

Badai mengembuskan napasnya, mencoba menutup mata, sedangkan pria itu menatap sebuah foto serta kalung yang sama. Pria itu mendapatkan pencerahan. Akhirnya dia menemukan adik kecilnya yang telah lama hilang. Sebelum itu dia harus memastikan satu hal.

......

TBC

Akhirnya ....

Artamevia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang