14. Teratai Rindu

666 86 4
                                    

Arta menatap bakso di depannya tak minat, mempermainkan makanan tersebut. Calvin meliriknya sekilas.

"Makan kali jangan diliatin mulu. Gue tahu lo galau tapi gak gini juga dong," timpal Calvin sembari menggelengkan kepalanya.

Di saat kehampaannya. Sapuan kilat menyapa pipinya lembut membuatnya terperanjat kaget begitu pun Calvin yang terbatuk akibat tepukan.

"Astagfirullah setan doang. Lo mau bunuh gue hah," sewotnya dengan tatapan marah, sedangkan Arta mematung di bangku saat menatap sosok pemuda di sampingnya, yang ditatap cengengesan dan kembali berulah.

"Ya sorry abis pada serius amat. Niat makan atau uji nyali," selanya sambil tertawa kecil.

Calvin tak jadi melempar sendok dikarenakan dia tahu pelakunya. Pemuda itu duduk di tengah. Arta masih menatapnya dengan mata bulat lucu seperti pingpong. Pemuda itu mendekatkan wajahnya. Perlahan tatapannya berpaling. Calvin terbatuk lagi.

"Berasa nyamuk gue di sini," gumamnya kecil. Calvin pindah tempat duduk membiarkan dua orang itu saling berbicara, sesekali memperhatikan dari jauh.

"Kangen gak?"

Tidak ada jawaban karena Arta mengabaikannya. Pemuda itu mengambil alih sendok serta bakso yang terbaikan membawanya ke dalam mulut. Dia mengaitkan jari-jarinya ke jari Arta membuatnya menegang seketika.

Mereka bergandeng tangan di bawah meja. Arta masih acuh tak acuh. Beda lagi dengan pemuda di sampingnya yang masih melahap bakso tersebut.

Diam-diam Arta memerhatikan tangannya dan mencoba meloloskan diri. Perhatian teralihkan, pemuda itu menengok dan menyuapi bakso terakhir ke dalam mulutnya.

Arta merapatkan bibirnya serta menggelengkan kepalanya menolak terang-terangan. Pemuda itu bergeser sedikit dan terus menyodorkan bakso itu. Matanya mengkode untuk membuka mulutnya.

Perlahan bibirnya tergerak dan membuka sedikit. Pemuda itu memakan baksonya dan wajah Arta menjadi suram. Sedetik kemudian, bakso berpindah haluan. Calvin melotot ke arah seberang. Merinding seketika dan tersedak baksonya sendiri. Pemuda itu tersenyum.

"Enak kan baksonya," seru pemuda itu.

Arta mengerjapkan matanya tadi itu sangat cepat dan membuatnya linglung, sedangkan Calvin melihat jelas. Dia beranjak dari kursi kemudian menggebrak meja.

"Bego banget sih, ini tuh tempat umum main nyosor aja. Benar-benar sinting lo berdua," kesalnya, "sadar Ar. Ini orang gak bener. Minggir bakal gue hajar ini orang!" lanjutnya sambil melipat lengan bajunya, siap berkelahi.

Calvin terjungkal karena tendangan. Arta berkata, "Apa sih teriak-teriak, Urat malu lo udah putus ya. Malu-maluin aja!"

Arta berdiri, melotot ke arah samping. Pemuda itu tak bereaksi.

Baginya pertengkaran antar saudara cukup menghiburnya.
Beruntung tempat itu tak ramai, tetapi rasa kesal menjalar ke seluruh sarafnya. Arta menarik pemuda itu pergi dan menceramahi tanpa berhenti.

Pemuda itu mengurungnya antar kedua tangan di sisi. Mulutnya berkicau terus-menerus. Tiba-tiba suaranya terendam dengan suara lain yang berhasil menguasainya.

Pemuda itu menatapnya dalam sembari mengelus pipi putihnya. Tubuh Arta bergetar saat menerima serangan mendadak. Jarak antar mereka begitu dekat hanya ada embusan napas yang menyelimuti.

Napasnya terengah-engah. Keduanya enggan bersuara, melainkan terdiam di antara malam tanpa bulan menerangi hanya lampu jalan yang berkelap-kelip.

Mereka duduk di kursi belakang. Saling berpelukan. Arta menenggelamkan wajahnya di dada pemuda itu.

"Ke mana aja?" tanyanya sambil berbisik parau.

Pemuda itu terkekeh kecil.

"Baru ditinggal bentar udah kangen hem. Jadi terharu."

Cubitan kecil menggelitik. Tangannya ditangkap dan dimasukkan ke dalam saku. Arta tak menolaknya kembali membenamkan kepalanya.

Pemuda itu berbisik, "Baru aja secercah asa muncul setelah tenggelam tanpa sedikit cahaya. Akhirnya ...."

Arta mengerutkan keningnya tak mengerti apa yang dikatakan. Dia meloloskan diri dari dekapan, mendongak menatapnya dengan bingung. Pemuda itu menundukkan kepalanya, mencium sudut matanya dan tertawa kecil.

"Tidur dah malam!"

Arta tak lagi melihatnya. Udara dingin tak terasa dikarenakan sudah ada kehangatan yang melindungi.

Pemuda itu berbisik, "Good night honey."

***

Calvin pulang duluan. beberapa menit kemudian, mobil berwarna hitam mendarat di depan gerbang. Pemuda itu menggendong Arta dalam dekapannya. Kunci mobil terlempar dengan cepat Calvin menerimanya dan menatapnya bingung.

"Masukkin ke garasi," perintahnya.

Calvin mengangguk pasrah.

Pemuda itu membawa Arta ke dalam kamar menurunkannya dengan hati-hati. Arta bergerak sedikit membuat pemuda itu dengan lembut mengusap kepalanya. Dia pun membisikkan kata-kata ringan.

Pemuda itu beranjak dari tempat tidur keluar kamar dan bertemu pandang dengan Calvin. Dia melewatinya berjalan lurus ke kamarnya. Pemuda itu menuruni tangga, menuju ke dapur. Kemudian, membawakan segelas susu hangat dan langsung dibawa ke dalam kamar.

Seperti biasa membangunkan Arta yang setengah tidur. Dengan patuh meminum susu tersebut dan menatap sayu ke arah pemuda itu, tangannya menarik ujung bajunya.

"Jangan pergi," bisiknya lirih.

Pemuda itu menjawab, "Nggak akan. Gue berencana nginep di sini beberapa hari."

Arta mengangguk. Pemuda itu berbalik ke arah lemari mengambil satu set piyama kemudian membantunya berganti pakaian.

Usai berganti pakaian. Pemuda itu masuk ke dalam selimut menarik Arta mendekat dengan baik Arta menurutinya tanpa protes sama sekali.

Pemuda itu merendahkan tubuhnya, menyapu lembut wajah Arta dengan bebas berkeliaran di sana. Arta bergumam kecil setelah itu mereka tertidur pulas sambil berpelukan.

.....

TBC

Artamevia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang